Jakarta (ANTARA) - Petani sayuran kecil di Pulau Jawa dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi khususnya smartphone berbasis Android/IOS untuk meningkatkan produktivitas dan harga jual produk. Petani kecil di Pulau Jawa umumnya memiliki luasan sekitar 1/4 ha.

Petani sayuran berpeluang lebih besar karena memiliki jiwa agribisnis yang lebih tinggi dibanding petani tanaman pangan yang masih bersifat subsisten. Bertani subsisten adalah pola bertani yang motifnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Rumah tangga petani kecil lebih tertarik menanam komoditas sayuran untuk mendapat penghasilan tambahan dibanding memilih tanaman pangan.

Petani sayuran kemudian memanfaatkan smartphone atau telepon pintar yang terinstal berbagai aplikasi untuk mendukung produksi dan pemasaran pertanian sehingga mereka mampu meningkatkan produktivitas usaha tani, menurunkan biaya input atau produksi, dan meningkatkan harga jual.

Riset berupa survei dan wawancara terhadap petani sayuran yang menggunakan kuesioner terstruktur telah dilakukan untuk membuktikan hal tersebut di 3 kecamatan di 3 kabupaten yaitu di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat; Sleman, DI Yogyakarta; dan Malang, Jawa Timur.

Data dikumpulkan dari 375 responden terpilih di wilayah masing-masing antara November 2021 hingga Maret 2022. Riset dilakukan untuk membangun model ekonometrik yang disebut model Multivariate Linier Regression (MLR) untuk menilai faktor-faktor heterogen yang mempengaruhi kemungkinan peningkatan pendapatan rumah tangga petani sayuran skala kecil melalui peningkatan produktivitas, penurunan biaya produksi, dan peningkatan harga jual.

Penelitian tersebut mengikuti Teori Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang disesuaikan dengan sektor pertanian. Hasil penelitian menemukan bahwa tingkat literasi TIK di sektor pertanian di Indonesia adalah 2,44 dari skala 4,00.

Hal tersebut bermakna bahwa petani sayuran telah memiliki kompetensi dalam menggunakan teknologi digital, khusus dalam hal pemahaman terhadap penggunaan TIK, pencarian informasi, dan mulai melakukan komunikasi di ruang digital (digital space).

Riset tersebut telah menambah literasi digital terkait transformasi di bidang pertanian yang berimplikasi pada pencapaian produksi komoditas sayuran yang berkelanjutan dan layak secara ekonomi bagi petani kecil di Indonesia.

Di kalangan petani terungkap bahwa petani dikelompokkan menjadi lima kategori dalam hal penggunaan handphone biasa atau smartphone untuk aktivitas pertanian.

Kelompok pertama, petani tidak menggunakan telepon seluler sama sekali, baik handphone biasa maupun smartphone. Kedua, petani yang menggunakan handphone atau smartphone hanya untuk keperluan telepon dan SMS saja.

Ketiga, petani yang menggunakan smartphone dengan menggunakan aplikasi WhatsApp namun tidak menggunakan banyak aplikasi lainnya. Keempat, petani yang menggunakan smartphone dengan berbagai aplikasi media sosial (tidak hanya WhatsApp).

Kelima adalah level tertinggi yaitu petani yang menggunakan smartphone dengan memanfaatkan berbagai aplikasi baik media sosial maupun non-media sosial untuk meningkatkan produksi dan pemasaran pertanian.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata petani responden yang luasannya sekitar 1/4 ha berpenghasilan Rp4,2-juta rupiah per bulan. Penghasilan paling kecil Rp1,3-juta dan penghasilan paling tinggi Rp9,2-juta per bulan.

Dari satu komoditas sayuran, petani dapat memperoleh tambahan pendapatan rumah tangga (ceteris paribus) sebesar Rp 133.000 per bulan jika petani dapat meningkatkan satu level penggunaan telepon seluler untuk kegiatan usahatani.

Petani juga dapat menambah pendapatannya sebesar RP 170.000 per bulan jika petani dapat meningkatkan satu level penggunaan telepon seluler untuk kegiatan penjualan hasil pertanian.

Bahkan petani dapat meningkatkan pendapatan 5 kali lipat jika mampu beralih dari level dasar ke level tertinggi, yaitu penggunaan smartphone dengan berbagai aplikasi lengkap.

Hal ini menggarisbawahi peluang ekonomi luar biasa yang terbuka melalui integrasi TIK di bidang pertanian.

Hasil penelitian menemukan kompleksnya permasalahan rumah tangga pertanian untuk membuat keputusan yang dilematis antara peningkatan harga jual dan produktivitas, termasuk menurunkan biaya input produksi.

Jika produktivitas regional/nasional meningkat maka akan terjadi oversupply komoditas pertanian dan selanjutnya harga jual akan turun. Namun demikian, trade-off ini merupakan bagian integral dalam mencapai tujuan utama yaitu meningkatkan pendapatan rumah tangga petani skala kecil.

Penelitian juga menemukan ukuran besaran peningkatan produktivitas yang dibutuhkan untuk menurunkan biaya produksi tanpa menurunkan harga jual sehingga usaha tani efektif dan efisien.


Berperan penting

Penggunaan smartphone untuk keperluan aktivitas pertanian memainkan peranan yang penting untuk pembangunan pertanian. Pengambil kebijakan dapat menjadikan literasi TIK dan level penggunaan telepon seluler sebagai katalisator.

Pengambil kebijakan dapat mulai mempromosikan literasi TIK dan optimalisasi smartphone di kalangan petani dan stakeholder terkait.

Berikutnya stakeholder termasuk penyuluh pertanian dapat memberikan training berdasarkan kelas atau level petani dalam menggunakan telepon seluler.

Petani yang hanya bisa menggunakan handphone biasa tidak bisa dijadikan dalam satu kelas dengan petani yang terbiasa dengan berbagai aplikasi di smartphone-nya untuk mendukung aktivitas pertanian.

Penelitian juga mengungkap bahwa kaum perempuan lebih efektif dari pada laki-laki untuk mendapatkan pelatihan tersebut.
Selain peningkatan skill bagi petani, akses infrastruktur TIK dan teknologi finansial juga menjadi hal yang penting untuk ditingkatkan.

Pengambil kebijakan dan stakeholder terkait (provider penyedia internet) perlu menyediakan jaringan internet 4G di berbagai tempat terutama di sentra pertanian penyangga kota besar/kecil (pasar bagi komoditas pertanian).

Selain itu, internet satelit atau konstelasi satelit orbit rendah bumi (low-earth orbit/LEO) dapat menjadi cakupan alternatif yang efektif dalam menyediakan konektivitas ke daerah-daerah terpencil melalui jaringan internet 4G yang biasanya sulit untuk disediakan.

Pada aspek teknologi finansial, perbankan dan lembaga keuangan lainnya dapat mempromosikan mobile money dengan menyediakan fitur layanan dan informasi produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pedesaan.

Hal tersebut agar rumah tangga pertanian dapat semakin mahir dalam menggunakan teknologi finansial. Salah satunya dapat secara langsung menggunakan aplikasi e-commerce untuk meningkatkan harga jual dengan memangkas (cut-off) rantai pasok.

Teknologi finansial juga dapat mengurangi transaction cost dan resiko keuangan saat bertransaksi dengan pedagang.


*) Penulis adalah Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB dan Peneliti di Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler, BRIN.

Copyright © ANTARA 2024