Bogor (ANTARA) - Merujuk kajian Haleh Afshar yang mengupas kehidupan perempuan dan politik masyarakat Asia yang berstatus sebagai negara dunia ketiga, perspektif feminis terhadap politik sangatlah diperhitungkan secara komprehensif.

Secara teori, konteks politik feminis ini mencakup berbagai aktivitas publik dan pribadi yang dilakukan perempuan untuk mendapatkan hak-hak publik dan domestik mereka. Penjelasan ini menunjukkan betapa tidak dapat dihindari, keterkaitan perempuan dengan politik formal dan terorganisir.

Hanya saja, seringkali keterlibatan perempuan dalam politik praktis menjadi salah satu hal yang menyoroti ketegangan dan kontradiksi dalam cara kerja politik perempuan di masyarakat dunia ketiga.

Dalam sudut pandang yang berbeda justru kehadiran ahli politik perempuan dalam semaraknya pesta demokrasi menunjukkan keberpihakan negara kepada perempuan.

Posisi ahli politik perempuan justru membuktikan kehadiran mereka berpengaruh dalam mewakili suara perempuan di panggung politik.

Berkurangnya keterlibatan perempuan dalam struktur politik formal menunjukkan tidak hanya seksisme institusional yang dihasilkan oleh politik semacam itu, namun juga memaksa banyak pihak untuk mengkaji ulang kebijakan yang ada agar posisi perempuan sebagai bagian dari warga negara dapat diperhitungkan sebagai perwakilan rakyat di pemerintahan.

Kajian mendalam diperlukan tentang bagaimana sebenarnya posisi perempuan yang seharusnya dalam panggung politik, mulai dari latar belakang pendidikan, pemahaman agama, hingga rendahnya edukasi politik seringkali diprediksi sebagai penyebab lemahnya posisi perempuan untuk terlibat di panggung politik.

Keadaan ini juga yang akhirnya menjadikan sebagian besar perempuan yang seharusnya terlibat dalam pesta demokrasi seperti tidak peduli akan pentingnya posisi mereka untuk kemajuan bangsa.

Dengan situasi yang ada tentang aktivitas politik perempuan di negara dunia ketiga ini dapat tergambar mengenai beragamnya persepsi khalayak tentang keterlibatan perempuan dalam politik.

Memilih untuk bersikap apatis terhadap politik justru dapat menjadi ranjau yang akan menjerumuskan hingga menyebabkan kemunduran pembangunan negara.

Perlu dihadirkan banyak kajian dan diskusi mendalam agar dapat melahirkan perspektif analitis feminis mengenai bentuk-bentuk perlawanan, pengorganisasian dan negosiasi yang dilakukan perempuan di negara-negara dunia ketiga, termasuk di dalamnya Indonesia.

Situasi politik Indonesia hari ini yang sedang riuh dengan persiapan pesta demokrasi menjadi sangat menentukan ketika kiprah perempuan terlibat dalam pemenangan pesta demokrasi ini.

Dengan semakin dekatnya masa pesta demokrasi di Indonesia, tentunya ruang diskusi dan edukasi perlu diperbanyak agar seluruh lapisan masyarakat, khususnya perempuan, mendapatkan edukasi politik yang cukup sebagai bekal diri menghadapi pemilihan umum, 14 Februari 2024.


Perspektif politik perempuan

Sebagai warga negara yang cerdas menyambut pesta demokrasi di negara ini, perlu kiranya membekali diri sebelum pesta demokrasi mendatang. Secara keilmuan, perspektif perempuan sebagai ahli politik dapat diidentifikasikan dalam beberapa kategori.

Pertama, dilihat dari sudut pandang ketokohan. Kehadiran ahli politik perempuan yang menciptakan suasana berbangsa dan bernegara yang harmoni diprediksi dapat mengembalikan kepercayaan publik. Kontribusi perempuan dengan karakter ketokohannya yang kuat menjadi alasan kuat kepercayaan masyarakat menitipkan aspirasi mereka kepada pemimpin perempuan.

Dalam hal ini tentunya eksistensi dan keterlibatan tokoh dalam situasi tertentu yang mengharuskan keterlibatan ahli politik akan teruji dengan berjalannya waktu. Janji-janji yang pernah diucapkan kepada khalayak akan membuktikan keberpihakan khalayak kepada seorang ahli politik.

Perspektif kedua, sehubungan dengan keberpihakan publik kepada ahli politik perempuan adalah penguatan kelembagaan. Partai politik yang mengusung akan menjadi wajah bagi aktivis politik perempuan untuk berbuat di masyarakat.

Secara praktik bisa saja ahli politik telah menjalankan banyak program kebajikan di masyarakat, namun seringkali koordinasi dan birokrasi yang lemah menjadikan eksistensi ahli politik perempuan seperti tidak diberikan panggung untuk membuktikan kapasitas mereka sebagai ahli politik.

Keterwakilan suara perempuan seringkali dilihat sebagai pelengkap saja secara kelembagaan, sementara secara keilmuan kiprahnya di masyarakat sama sekali tidak diperhitungkan. Keadaan ini menunjukkan lemahnya posisi perempuan berpolitik, sehingga suara mereka tidak lagi diperhitungkan.

Bagian ketiga, yang menjadikan perspektif ahli politik perempuan adalah kemampuan komunikasi. Secara teori diketahui kemampuan komunikasi memegang peranan penting dalam praktik interaksi ahli politik dengan masyarakat.

Sebagai contoh, sebut saja ketika partai mengandalkan figur artis, atau keturunan. Jika secara keilmuan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni dapat dipastikan eksistensi ahli politik tidak mendapat simpati dari masyarakatnya.

Lemahnya posisi perempuan sebagai ahli politik menunjukkan lemahnya produktivitas dan interaktif perempuan dalam membangun konsensus satu dan yang lainnya. Bila diselidiki aktivisme politik feminis, meskipun para analis Barat mengaitkan kelemahan tersebut dengan istilah-istilah, seperti peran sebagai ibu, perkawinan, dan pekerjaan rumah tangga, sebagai pilihan yang dibuat oleh perempuan non-Barat, menunjukkan bahwa strategi tersebut digunakan oleh perempuan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mencari sumber daya dan kesejahteraan.

Perlu dipahami bahwa keterlibatan perempuan dalam politik domestik dan berbasis komunitas menunjukkan kepada dunia bahwa eksistensi perempuan seringkali diremehkan secara institusional dengan keterbatasan mereka. Atau, jika tidak didevaluasi, maka posisi perempuan sebagai ahli politik akan menjadi bumerang yang akan mencoreng nama baik bangsa di masa depan.

Pembekalan diri menjadi salah satu solusi paling efektif untuk memosisikan perempuan dalam kehidupan politik praktis.


Pentingnya edukasi 

Masyarakat Indonesia dihadapkan dengan banyak pilihan calon legislatif pada pesta demokrasi kali ini. Perlu lebih selektif agar mampu mengenal lebih dekat siapa yang menjadi calon-calon pemimpin mereka.

Sebagai peserta pemilu, saat ini tercatat peningkatan jumlah pilihan partai politik di Indonesia. Dari 14 partai politik pada periode pemilihan 2019, sumber data KPU mencatat jumlah peningkatan partai peserta pemilu hampir 50 persen, yaitu sebanyak 24 partai politik pada Pemilu 2024.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 sebanyak 204,81 juta jiwa. Dari jumlah tersebut pemilih perempuan tercatat sebanyak 102,58 juta jiwa. Artinya sekitar 50 persen pemilih perempuan potensial akan menyeleksi calon-calon pemimpin mereka yang berasal dari 24 partai peserta pemilu.

Masyarakat berhak mendapatkan edukasi politik dengan harapan mereka mampu memilih calon pemimpin yang berpihak kepada rakyat dari perwakilan 24 partai yang ada. Masing-masing calon sedang berlomba-lomba dengan strategi masing-masing untuk memperkuat identitas diri sebagai calon legislatif yang akan digadang-gadang sebagai wakil rakyat.

Sebagai bentuk tanggung jawab, pemerintah bersama KPU dengan berbagai cara menjalankan berkewajiban memberikan edukasi secara terorganisir kepada masyarakat. Kemudahan teknologi terbukti efektif membantu masyarakat untuk lebih dekat, kemudian tahu siapa dan bagaimana latar belakang keluarga serta kapasitas diri calon ahli politik agar terwujudnya pesta demokrasi yang dinamis.

Berharap dengan bekal kecerdasan berteknologi menjadikan potensi besar bagi masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, untuk membekali diri memilih calon pemimpin Indonesia yang berpihak kepada rakyat.

Wallahu A’lam

*) Dewi Anggrayni, PhD adalah Ketua Program Studi Magister Komunikasi & Penyiaran Islam, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor

Copyright © ANTARA 2024