Jakarta (ANTARA) - Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam konferensi pers pada Kamis (18/1), yang mengemukakan bahwa di masa mendatang, Israel harus menguasai sepenuhnya seluruh daerah, dari Sungai Jordan hingga Laut Mediterania, membawa kehebohan internasional.

Hal itu berarti bahwa Netahnyahu menegaskan bahwa Israel ingin menguasai seutuhnya seluruh wilayah Palestina yang terdiri atas Tepi Barat (yang terletak di sebelah barat Sungai Jordan) serta Jalur Gaza (yang berada di pesisir Laut Mediterania).

Dalam konferensi pers dengan menggunakan bahasa Ibrani itu, Netanyahu juga mengatakan bahwa dirinya telah mengatakan kepada Amerika Serikat untuk berhenti mendesak terkait skenario pascaperang (yang termasuk pendirian negara Palestina).

Perdana Menteri Israel itu juga menegaskan bahwa pasukan Negeri Zionis itu akan terus melanjutkan operasi militernya hingga Israel dapat meraih kemenangan telak terhadap kelompok Hamas Palestina.

Tidak hanya Perdana Menteri Israel, sang kepala negara, yaitu Presiden Israel Isaac Herzog, pada hari yang sama juga menyatakan bahwa rakyat Israel kehilangan kepercayaan dalam proses perdamaian.

Pernyataan yang agresif oleh para pemimpin Israel itu juga mengindikasikan bahwa konsep pendirian dua negara, yaitu Israel dan Palestina, akan mendapat penolakan dari mereka.

Padahal, berbagai perdana menteri Israel, khususnya di akhir 1990-an dan dekade pertama abad ke-21, masih menunjukkan adanya kepercayaan terhadap solusi dua negara itu.

Salah satu peristiwa penting dalam proses perdamaian Palestina-Israel adalah Perjanjian Oslo yang ditandatangani di Washington DC, Amerika Serikat, pada 1993, oleh pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Yitzhak Rabin (dari Partai Buruh).


Sudah cukup

Setelah penandatanganan bersejarah sekitar 30 tahun lalu itu, Rabin, kala itu menyatakan bahwa atas nama rakyat Israel, yang telah lama melawan rakyat Palestina, pihaknya menyatakan bahwa "hari ini, dengan suara yang lantang dan jelas; Sudah cukup darah dan air mata. Cukup!"

Begitu pula dengan Perdana Menteri Israel lainnya yang berasal dari Partai Buruh, yaitu Ehud Barak, yang mengingatkan bahwa setiap upaya dari Israel untuk menguasai Tepi Barat dan Gaza sebagai satu entitas politik, hanya akan menghasilkan negara yang tidak demokratis atau sebuah negara non-Yahudi.

Tidak hanya dari Partai Buruh, Perdana Menteri Israel dari Partai Likud yang berkuasa setelah Barak, Ariel Sharon pada September 2001, juga menyatakan bahwa rakyat Palestina memiliki hak untuk menetapkan wilayah mereka di sebelah barat Sungai Yordan.

Dua tahun setelahnya atau pada 2003, Sharon juga mendukung Peta Jalan Damai, sebuah upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang dicetuskan oleh Kuartet Timur Tengah: Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Ariel Sharon sendiri pada masa lalu sebelum menjadi perdana menteri dikenal sebagai pemimpin bengis dalam pasukan Israel, salah satu catatan resminya adalah dianggap bertanggung jawab terhadap pembantaian di kamp pengungsian Sabra dan Shatila di Lebanon pada 1982.

Pengganti Sharon di posisi perdana menteri, Ehud Olmert, kala itu menyambut baik dukungan Liga Arab pada 2007 dalam Inisiatif Perdamaian Arab.

Bahkan, Olmert hingga menulis di media asal Inggris, Guardian, bahwa Israel siap untuk "konsesi yang menyakitkan" guna mencapai perdamaian dengan Palestina.

Semua proses ke arah perdamaian untuk Israel dan Palestina itu seperti dilempar ke tong sampah begitu saja dengan komentar dari para pemimpin Israel, saat ini, termasuk yang dilontarkan Perdana Menteri Netanyahu.

Seperti diketahui, Israel melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sebagai balasan atas serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menurut Tel Aviv menewaskan 1.200 korban.

Namun, tindakan bombardir yang membabi buta itu (dengan dukungan amunisi dari sejumlah negara Barat) telah membuat sekitar 25.000 warga Palestina terbunuh akibat serangan Israel, sementara 62.000 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina.

Data dari PBB sendiri juga menyatakan bahwa serangan Israel juga menyebabkan 85 persen penduduk Gaza harus mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong Palestina itu rusak atau hancur.

Tidak heran bila Israel sekarang digugat dalam kasus genosida oleh Afrika Selatan yang didukung berbagai pihak, dalam Mahkamah Internasional (ICJ).


Tidak puas

Bukannya menyadari tentang berbagai kepedihan dan kesengsaraan bencana kemanusiaan yang terjadi di Gaza, Netanyahu sepertinya tidak merasa puas dalam nafsunya untuk menghancurkan serta berjanji untuk melanjutkan peperangan, apa pun hasil yang diperoleh di ICJ.

Dengan bersikap keras kepala seperti itu, tampaknya sikap pemimpin Israel saat ini adalah akan mengarah kepada solusi satu negara, di mana hanya ada satu negara (Israel) yang menguasai seluruh daerah, termasuk wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Para pendukung solusi satu negara itu berdalih bahwa penerapan konsep satu negara adalah karena secara de facto, saat ini situasi di Israel/Palestina sudah seperti pengelolaan (penjajahan) oleh satu negara, yaitu negara Zionis Israel.

Penerapan seperti itu tidaklah populer, berdasarkan survei oleh lembaga Pulse pada 2023, mengungkapkan bahwa solusi satu negara demokratis hanya didukung 23 persen warga Palestina dan hanya 20 persen warga Yahudi Israel.

Selain itu, PBB juga berulang kali menyatakan bahwa lembaga dunia tersebut tetap konsisten untuk mendukung solusi dua negara, terutama setelah adanya pernyataan dari Perdana Menteri Netanyahu yang intinya menentang pendirian negara Palestina.

Juru Bicara Stephane Dujarric kepada wartawan pada Kamis (18/1) menegaskan bahwa Sekjen PBB Antonio Guterres tetap mendukung solusi dua negara.


Hidup berdampingan

Selain itu, Dujarric juga mengungkapkan bahwa Guterres akan menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk mengembalikan segala sesuatu ke jalur yang benar, sehingga aspirasi, harapan, dan keprihatinan yang sah dari rakyat Israel dan rakyat Palestina dapat terpenuhi, serta pada akhirnya bisa hidup berdampingan.

Sehari setelahnya, Presiden AS Joe Biden menuturkan kepada wartawan bahwa solusi dua negara masih mungkin terjadi, meski Netanyahu masih berkuasa.

Pernyataan dari Gedung Putih mengenai pembicaraan antara Biden dan Netanyahu juga menyebut bahwa "Presiden juga membahas visinya untuk perdamaian dan keamanan yang lebih tahan lama bagi Israel yang sepenuhnya terintegrasi di kawasan dan solusi dua negara dengan jaminan keamanan Israel".

Solusi dua negara, perlu disadari sebenarnya adalah strategi yang paling pas bagi Israel sendiri, untuk menjamin keamanan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di negara yang berdiri sejak 1948 itu.

Hal itu karena pencaplokan yang dilakukan Israel terhadap berbagai wilayah Palestina, terutama setelah Perang Enam Hari 1967, adalah pangkal yang mengakibatkan konflik hingga saat ini.

Berbagai pakar juga telah mengingatkan bahwa dengan menerapkan solusi dua negara secara efektif akan menjamin keamanan, baik bagi Israel maupun Palestina, termasuk kedamaian di kawasan.

Untuk itu, tindakan dan pernyataan dari berbagai elite Israel yang mencampakkan solusi dua negara, dengan menentang pendirian negara Palestina, sama saja dengan "bermain api".


 

Copyright © ANTARA 2024