New York (ANTARA News) - Harga minyak AS melonjak ke tingkat tertinggi dalam 18 bulan pada Selasa (Rabu pagi WIB), karena ancaman Barat akan menghukum Suriah untuk dugaan serangan senjata kimia meningkatkan kekhawatiran atas pasokan minyak mentah Timur Tengah.

Kontrak berjangka minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange untuk pengiriman Oktober melompat 3,09 dolar AS mencapai 109,01 dolar AS per barel, sebuah tingkat yang terakhir terlihat pada Februari 2012, lapor AFP.

Di London, minyak mentah Brent North Sea mencapai harga tertinggi dalam enam bulan, ditutup pada 114,36 dolar AS per barel atau naik 3,63 dolar AS dari Senin.

AS dan sekutunya menunjuk secara langsung pemerintah Suriah sebagai bertanggung jawab untuk dugaan serangan senjata kimia pada 21 Agustus yang menyebabkan ratusan orang tewas.

Washington mengatakan pihaknya akan menuntut Damaskus untuk bertanggungjawab, dan mengatakan pasukan militernya siap untuk mengambil tindakan, ketika sekutu AS angkat bicara mendukung tindakan hukuman tersebut.

The Washington Post mengutip pejabat senior pemerintahan AS yang mengatakan tindakan itu mungkin akan berlangsung tidak lebih dari dua hari dan melibatkan rudal atau pembom jarak jauh, sasaran serangan militer tidak terkait langsung dengan gudang senjata kimia Suriah.

Sementara yang akan menjadi target secara langsung adalah setiap produksi atau transportasi minyak besar, berdekatan dengan produsen dan pengiriman minyak utama Irak yang membuat pasar gelisah. Ancaman terbesar untuk produksi dan ekspor minyak Irak.

Selain itu, kata Timothy Evans dari Citi Futures, penutupan fasilitas produksi lainnya di Libya oleh para demonstran juga memperketat pasokan.

"Produksi minyak mentah Libya mungkin telah turun di bawah 200.000 barel per hari setelah penutupan ladang minyak Elephant pada Senin," katanya, mengutip wawancara yang diberikan oleh Kepala National Oil Co. Nuri Berruien.

Tetapi beberapa analis mengatakan ada banyak pasokan di pasar untuk meredam harga, baik dari Amerika Utara maupun dari Arab Saudi.

"Libya dan Irak pada saat ini keduanya akan terus menimbulkan masalah dengan tingkat produksi mereka, tetapi volume agregat yang hilang masih mungkin dapat dikelola," kata Greg Priddy di Eurasia Group.

"Volume dari gangguan aktual di Libya dan Irak tetap tidak mencukupi untuk mengimbangi kecenderungan lebih banyaknya persediaan karena melonjaknya produksi di Amerika Utara."


Penerjemah: Apep Suhendar

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013