Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia telah menetapkan untuk melakukan pemindahan Ibu Kota Negara dari Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta) ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di wilayah Kalimantan Timur.

Proses pemindahan tersebut secara resmi dimulai melalui penyusunan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, serta diketok palu oleh legislatif ketika disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara pada awal tahun 2022.

Tantangan terhadap pemindahan ibu kota negara merupakan tantangan multidimensi dari banyak aspek.

Menurut Yanti dkk (2022), hal yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus adalah aspek lingkungan dan sosial. Aspek sosial tentunya terkait dengan lingkungan di Pulau Kalimantan, terutama penanganan isu kerusakan alam yang sudah terjadi akibat penebangan hutan dan aktivitas industri.

Pada aspek sosial, potensi adanya kesenjangan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan antara penduduk setempat dan penduduk yang akan pindah ke IKN akan terjadi jika tidak diiringi dengan peningkatan keterampilan dan pendidikan masyarakat setempat.

Benang merah untuk melakukan mitigasi risiko terkait tantangan yang telah dipaparkan tersebut adalah melalui perencanaan dan implementasi pembangunan secara berkesinambungan terhadap perubahan lingkungan srategis yang datang terus menerus.

Dalam kaitan pemindahan dan pembangunan ibu kota negara, perlu diterapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang akan sejalan dengan kedudukan Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB yang juga ikut mengadopsi Resolusi Sidang Umum PBB A/RES/70/1 "Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development" pada tahun 2015.

Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan menurut Brundlant Report tahun 1987 adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan atau generasi yang akan datang.

Salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Pembangunan ekonomi tidak semata-mata akan merusak lingkungan, tetapi justru pembangunan ekonomi dan pembangunan lingkungan dapat bersinergi satu sama lain.

Dalam konteks kebutuhan organisasi secara komprehensif, maka dibutuhkan pengadaan barang/jasa yang strategis untuk menyiapkan berbagai kebutuhan barang dan jasa dalam rangka membangun ekonomi dan lingkungan secara sinergis di Ibu Kota Nusantara tersebut.


Pengadaan berkelanjutan

Pemerintah telah menetapkan kebijakan terkait pengadaan berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Pada pasal 1 angka 50 berbunyi, "Pengadaan Berkelanjutan adalah pengadaan barang/jasa yang bertujuan untuk mencapai manfaat menguntungkan secara ekonomis, tidak hanya untuk kementerian/lembaga/perangkat daerah sebagai penggunanya, tetapi juga untuk masyarakat, serta signifikan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dalam keseluruhan siklus penggunaannya".

Selanjutnya pada Pasal 68 perpres tersebut secara lebih teknis menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan memperhatikan aspek berkelanjutan.

Aspek berkelanjutan tersebut, terdiri atas tiga hal, yaitu aspek ekonomi, meliputi biaya produksi barang/jasa sepanjang usia barang/jasa tersebut. Aspek sosial, meliputi pemberdayaan usaha kecil, jaminan kondisi kerja yang adil, pemberdayaan komunitas/usaha lokal, kesetaraan, dan keberagaman.

Kemudian aspek lingkungan hidup, meliputi pengurangan dampak negatif terhadap kesehatan, kualitas udara, kualitas tanah, kualitas air, dan menggunakan sumber daya alam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengadaan berkelanjutan dilaksanakan oleh entitas pengadaan yang terlibat. Berdasarkan kebijakan tersebut, pengadaan berkelanjutan mensyaratkan terpenuhinya tiga kepentingan, yang meliputi kepentingan ekonomi, yaitu mempertimbangkan secara seksama biaya selama umur ekonomi atas barang dan jasa yang diperoleh. Lalu perolehannya didapat secara efisien melalui kompetisi terbuka, dam kompetisinya dilakukan dengan adil, transparan dan non-diskriminatif.

Kedua, kepentingan sosial, yaitu terkait dalam proses produksi, penyedia memperhatikan kesetaraan gender, tidak menggunakan pekerja di bawah umur dan anak-anak, menggaji karyawan sesuai ketentuan upah minimum yang berlaku.

Ketiga, kepentingan lingkungan, yaitu perusahaan penyedia barang dan jasa sudah memenuhi ketentuan terkait AMDAL, standar keselamatan kerja, penggunaan energi secara efisien, dan ramah lingkungan.

Implementasi pengadaan barang dan jasa berkelanjutan di sektor publik atau sustainable public procurement (SPP) sangat terkait dengan sustainable development goals (SDGs) yang dibiayai oleh APBN/APBD. Pengadaan berkelanjutan adalah bagian dari SDGs atau tujuan pembangunan berkelanjutan global, yang telah disetujui para pemimpin dunia pada tahun 2015. 

Pemerintah Indonesia sendiri mengikat komitmen dimaksud dalam regulasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Pengesahan lokasi Penajam Paser Utara sebagai Ibu Kota Negara, membuka babak baru sistem pemerintahan sebagai Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Dimana Konsep Ibu Kota Nusantara yang tengah dibangun akan menjadikan ibu kota yang inklusif, cerdas, hijau dan berkelanjutan, serta mempunyai tujuan untuk mewujudkan identitas peradaban baru bagi Indonesia dan sekaligus menjadi kota percontohan yang mengadopsi pembangunan berkelanjutan, mulai dari perencanaan dan pembangunannya.

Ada beberapa upaya terukur dalam rangka mewujudkan sustainable public procurement dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan berkelanjutan di IKN.

Pertama, Otorita IKN sebagai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara menyusun peraturan kepala otorita yang memuat kebijakan dan regulasi pengadaan berorientasi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan tidak dimaksudkan untuk menguntungkan pribadi atau kelompok, maka tidak perlu ragu mengaturnya.

Kedua, entitas pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran otorita IKN menyusun rencana umum pengadaan berwawasan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dimana usulan kebutuhan barang dan jasa dari unit-unit kerja pada Otorita IKN dikendalikan dan diarahkan, baik jenis maupun volumenya. Misalnya: Rencana pengadaan aneka kertas, termasuk kertas tisu, dikendalikan karena menggunakan bahan baku kayu/pohon, dan rencana pengadaan dan penyediaan infrastruktur untuk energi terbarukan, misalnya pemasangan panel surya pada gedung-gedung di kawasan inti pemerintahan IKN.

Terhadap hal tersebut pejabat pembuat komitmen menindaklanjutinya dengan menyusun spesifikasi barang/jasa dan rancangan kontrak berwawasan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam proses pengadaan oleh pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan dilakukan dengan memilih penyedia yang memiliki komitmen dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan dan juga memiliki produk yang ramah lingkungan dengan berlandaskan pedoman "environmentally preferable purchasing" (EPP) yang termasuk dalam regulasi pengadaan Otorita IKN.

Ketiga, konsistensi dalam melakukan efisiensi biaya operasional birokrasi dengan melakukan protokol efisiensi dalam hal penghematan energi dan sumber daya. Hal ini, misalnya dengan melakukan protokol efisiensi dalam penggunaan air dan listrik.

*) Lucky Akbar adalah ASN pada Kementerian Keuangan


 

Copyright © ANTARA 2024