Gaza (ANTARA) - Setelah serangan Israel memaksa banyak anak-anak di Jalur Gaza meninggalkan rumah dan sekolah mereka, Intisar al-Arabid, seorang guru asal Palestina yang tinggal di Gaza, berinisiatif untuk mengajar di tempat penampungannya di selatan Kota Rafah.

"Karena tidak bisa bersekolah, para murid mengalami stres karena harus melalui situasi mengerikan akibat operasi militer yang sedang berlangsung di Gaza," kata guru matematika berusia 45 tahun itu.

"Akibat kurangnya rasa aman, beberapa anak mulai berperilaku negatif seperti kekerasan, terutama mereka yang tinggal di kamp pengungsian," ujarnya.
 
Israel melancarkan serangan skala besar di Gaza untuk membalas serangan mendadak kelompok Hamas Palestina di Israel selatan pada 7 Oktober 2023 lalu yang menewaskan sekitar 1.200 orang, menurut Israel.

Serangan Israel telah menewaskan 24.927 warga Palestina di Jalur Gaza per Sabtu (20/1), menurut Kementerian Kesehatan yang berbasis di Gaza.

Selain itu, banyak bangunan sipil, rumah sakit, perguruan tinggi, dan sekolah di Gaza yang semuanya hancur akibat serangan tersebut.

"Pemerintah Israel ingin menghancurkan semua aspek kehidupan di Gaza dan menjadikannya tidak stabil. Anak-anak kami kehilangan seluruh hak asasi mereka di Gaza, termasuk hak mereka untuk hidup, pendidikan, dan bermain," kata Samah al-Masri, seorang wanita pengungsi Gaza.

Ibu tiga anak berusia 42 tahun itu mengatakan bahwa inisiatif al-Arabid membantu putranya yang berusia delapan tahun kembali melanjutkan pembelajarannya di kelas, mengembalikan semangat hidupnya, dan menghilangkan ketakutannya bahwa dia akan dibunuh oleh tentara Israel.
 
   Anak-anak perempuan Palestina belajar di ruang kelas di kota Rafah di Jalur Gaza selatan, 20 Januari 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)


Untuk membantu anak-anak di Gaza, al-Arabid memutuskan untuk berinisiatif dan mulai menawarkan pelajaran gratis kepada anak-anak usia sekolah di sekolah dasar al-Quds di Rafah, yang telah dialihfungsikan menjadi sebuah tempat penampungan bagi para pengungsi.

Kurikulum yang diajarkan al-Arabid di sekolahnya meliputi matematika, ilmu pengetahuan, dan bahasa Arab. Namun, dirinya merasa kesulitan untuk terus mengajar di tengah kurangnya pena, kertas, buku catatan, dan buku pelajaran.

Dia kemudian membuat keputusan untuk lebih berkonsentrasi dalam mengajarkan para murid untuk menghafal, dengan mengatakan bahwa hal itu akan membantu mereka menjadi lebih cerdas dan fokus.
 
   Anak-anak perempuan Palestina pulang setelah belajar di Kota Rafah, Jalur Gaza selatan, 20 Januari 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)


Mohammed Abu Reziq, seorang remaja pengungsi Gaza yang kehilangan sekolahnya akibat serangan Israel di Gaza City, adalah salah satu dari puluhan murid yang mengikuti kelas al-Arabid.

"Sekarang, saya sudah mengenal beberapa teman sekelas baru dan saya merasa telah kembali ke sekolah saya sebelumnya, yang memberikan harapan bahwa saya akan kembali menjalani kehidupan normal segera setelah tentara Israel mengakhiri perangnya melawan Gaza," kata remaja berusia 12 tahun tersebut.

Samir Awadallah, seorang guru bahasa Arab yang tinggal di Gaza, menuturkan inisiatif al-Arabid telah memberikan energi positif kepada warga setempat "yang berjuang melawan kematian di Gaza".

Dia menuturkan bahwa inisiatif al-Arabid mendorongnya untuk mengajar para murid di kamp pengungsi yang terletak di sebelah barat Kota Rafah.

"Kami adalah orang-orang yang mencintai kehidupan dan berupaya hidup damai jauh dari perang," ungkapnya.

Dia menambahkan "kehidupan akan terus berlanjut, dan perang akan berakhir suatu hari nanti." 

 

Pewarta: Xinhua
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2024