Saya sih butuh pemimpin yang mendengarkan suara rakyat dan gercep (gerak cepat).
Jakarta (ANTARA) - Sebagian besar pelajar sekolah menengah atas (SMA) akan mengambil bagian dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 karena mereka telah memiliki hak untuk memilih.

Harapan dari para pemilih pemula ini berbinar menjadi asa dalam mencari pemimpin Indonesia berikutnya. Mereka mengharapkan banyak hal, mulai dari pemimpin yang mendengarkan, bergerak cepat, hingga memedulikan isu pendidikan.

Angelina, misalnya, mengaku membutuhkan pemimpin yang peka terhadap suara rakyat. Siswi kelas 11 tersebut mencari sosok yang bisa mendengarkan rakyat serta bekerja nyata menjalankan program-program yang dijanjikan.

“Saya sih butuh pemimpin yang mendengarkan suara rakyat dan gercep (gerak cepat) dalam hal mendengarkan suara rakyat juga dalam menjalankan program kerjanya juga. Yang kerja nyata di lapangan juga,” kata Angelina ketika ditemui di Jakarta.

Sementara itu, Devan Haidar berharap pemimpin masa depan menaruh perhatian terhadap ongkos pendidikan di perguruan tinggi. Siswa kelas 12 itu ingin biaya kuliah terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat.

Ia berkisah masih ada koleganya yang tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah hanya karena tidak mampu membayar ongkos pendidikan di perguruan tinggi.

“Sebagai anak SMA, saya berharap, karena saya mau lulus (SMA, lalu) kuliah, mungkin untuk biaya kuliah atau hal-hal semacam itu yang menyangkut dengan ekonomi itu bisa lebih diturunkan lagi harganya,” ujar Devan.

Selain itu, Devan juga berharap pemimpin Indonesia tidak hanya fokus memajukan aspek tertentu. Dia ingin pemerataan kemajuan tercipta di negara ini.

“Menurut saya, pemimpin selanjutnya yang akan maju adalah pemimpin yang akan memajukan Indonesia dalam bidang apa pun, tidak hanya dalam bidang pertahanan, pariwisata, atau semacamnya, tapi saya berharap bahwa semua yang ada di Indonesia maju berkat pemimpin tersebut,” tuturnya.

Usia muda tidak menghalangi para pelajar SMA ini untuk memiliki cakrawala pengetahuan luas. Komitmen dalam bidang ketahanan negara tidak luput dari aspek yang mereka lihat dari sosok pemimpin. Zilan, pelajar kelas 11, ingin pemimpin Indonesia membereskan masalah konflik yang tidak dimungkiri masih terjadi.

“Memperbaiki masalah-masalah yang ada di timur itu, kayak Papua,” ujar Zilan.

Ada pula pelajar yang tidak muluk-muluk. Airlangga, siswa kelas 12, mengaku hanya mencari pemimpin yang bisa meyakinkan rakyat bahwa ia bisa bekerja secara bagus dan tidak banyak melontarkan janji.

“Yang yakin kerjanya bagus saja lah, sama yang enggak banyak janji,” kata dia.


Semangat tidak golput

Angelina mengaku bersemangat dalam menyambut Pemilu 2024. Tahun ini merupakan yang pertama ia memiliki hak untuk memilih. Tak mau suaranya terbuang sia-sia, Angelina betul-betul menelisik calon pemimpin yang akan ia pilih.

Excited (bersemangat) juga, bingung juga, harus bagaimana karena selama ini biasanya enggak terlalu ngikutin politik. Akan tetapi, setelah mau jadi pemilihan pertama, saya jadi lebih ngikutin debat capres-cawapres. Karena kita harus menentukan pilihan kita sendiri, kan, jangan dari ortu (orang tua),” tutur dia.

Di sisi lain, Devan menaruh harapan agar teman-teman sebayanya mau menyalurkan hak suara mereka. Hak untuk memilih merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang perlu untuk dipenuhi.

“Saya mendukung sekali kalau teman-teman saya ingin memilih untuk presiden selanjutnya,” katanya.

Ajakan agar pemilih pemula tidak terjerumus ke dalam pusaran golongan putih (golput) bahkan juga datang dari kalangan yang belum memiliki hak memilih. Salvator Pasogit Manik, siswa kelas 10 itu ingin kakak kelasnya tidak bersikap apatis dalam pemilu.

“Saya juga pengin mereka semua tidak bersikap tidak peduli. Mereka harus peduli juga berhati-hati dalam memilih, seperti membaca visi misinya dulu, mungkin tertarik dengan yang ini, baru mereka memilih,” tuturnya.


Negara menjemput bola

Para pelajar SMA di atas merupakan pemilih pemula yang baru mendapatkan hak memilih pada Pemilu 2024. ANTARA mewawancarai mereka usai acara sosialisasi yang digelar Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM yang turut menghadirkan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Sosialisasi yang digelar di SMAN 68 Jakarta, Selasa (23/1) itu merupakan bagian dari diseminasi informasi HAM bagi pelajar dan pemilih pemula. Tujuannya, agar para pemilih pemula sadar akan hak pilih yang mereka miliki.

Pada sosialisasi tersebut, Direktur Jenderal HAM Dhahana Putra mengatakan bahwa hak memilih merupakan bagian dari HAM. Oleh sebab itu, ia mengajak para pelajar yang telah terdaftar sebagai pemilih menyuarakan hak pilih mereka pada 14 Februari 2024.

Dia juga mengajak generasi penerus bangsa itu untuk melaksanakan hak pilihnya tanpa suatu tekanan, termasuk juga mengajarkan mereka berani melawan politik uang (money politics).

Pemilih pemula sangat penting kehadirannya dalam pemilu. Ini menjadi momentum bagi mereka untuk ikut serta memilih pemimpin nasional sekaligus menentukan bagaimana masa depan negara.

Sementara itu, Komisioner KPU RI Idham Holik menekankan kepada para pelajar bahwa golput bukan pilihan yang baik. Golput telah mengalami perluasan makna.

Dahulu, golput merupakan istilah untuk warga negara yang terdaftar sebagai pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS), tetapi tidak memberikan suara secara sah.

“Memberikan hak suaranya tidak dalam tanda gambar di surat suara, tetapi yang bersangkutan mencoblosnya di luar tanda gambar,” ujar dia.

Kini, makna golput mengarah kepada mereka yang sama sekali tidak datang ke TPS dan menyalurkan hak pilihnya. Padahal, menyalurkan hak pilih merupakan bentuk rasa syukur atas anugerah Tuhan.

Masih ada masyarakat di negara lain yang memperjuangkan demokrasi dan ingin memiliki hak untuk memilih sendiri siapa yang akan memimpin mereka, sementara Indonesia telah memiliki itu sejak lama.

“Karena ini adalah bentuk rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka kita harus bijak menggunakan hak pilih,” ucap Idham di hadapan para pelajar itu.






 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024