Kesatuan pengelolaan hutan dibentuk untuk memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia dalam rangka perbaikan tatanan kelembagaan dalam pengelolaan hutan
Palangka Raya (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus memperkuat kesatuan pengelolaan hutan guna mendongkrak ekonomi dan melindung kawasan hutan dari berbagai ancaman merusak, mulai dari pembalakan hingga kebakaran.
 
"Kesatuan pengelolaan hutan dibentuk untuk memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia dalam rangka perbaikan tatanan kelembagaan dalam pengelolaan hutan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto saat melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Rabu.
 
Agus mencontohkan di Kalimantan Tengah ada kesatuan pengelolaan hutan yang berada di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Sebanyak 32 unit pengelolaan hutan sudah memiliki perencanaan hutan jangka panjang.
 
Kalimantan Tengah mempunyai kawasan hutan produksi seluas 3,7 juta hektare dan kawasan hutan produksi terbatas sekitar 3,2 juta hektare.

Baca juga: Transformasi Aliansyah, bekas pembalak jadi pengelola hutan lestari
 
Pada kelompok pengelolaan hutan lindung Gerbang Barito Sembilan, kata Agus, mereka mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pengelolaan lahan gambut dan memiliki program pengendalian kebakaran hutan dari kesatuan pengelolaan hutan.
 
"Mereka membentuk masyarakat peduli kebakaran hutan dan menyediakan anggaran edukasi untuk pengelolaan lahan gambut," ujarnya.
 
Kesatuan pengelolaan hutan juga menghasilkan produk non-kayu, seperti rumput purun yang diolah menjadi sedotan.
 
Rumput purun tumbuh secara alami di hutan gambut Kalimantan Tengah. Sedotan rumput purun menjadi solusi untuk menggantikan sedotan plastik yang mencemari air dan tanah.

Baca juga: KLHK optimistis selesaikan 8 juta hektare perhutanan sosial pada 2024
 
Hasil hutan non-kayu lainnya adalah kompos blok yang terbuat dari daun dan jemari. Kompos blok itu mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman, mampu menyimpan air, dan bisa diaplikasikan pada lahan ekstrem.
 
"Bahan bakunya semua dari alam dan tidak menggunakan plastik atau polybag, bebas dari bakteri Escherichia coli dan Salmonella, serta mengandung mikroba yang mampu membuat tanah menjadi subur," kata Agus.
 
Selain sedotan purun dan kompos, kesatuan pengelolaan hutan berbasis masyarakat juga membudidayakan madu kelulut. Praktik budi daya madu kelulut tersebut bisa dilihat di Desa Tuwung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
 
Desa itu mampu memproduksi madu kelulut sebanyak 15 liter per bulan dengan harga jual Rp25 ribu per 100 mililiter. Madu kelulut hasil budi daya masyarakat melalui skema perhutanan sosial tersebut dipasarkan ke berbagai daerah dan menjadi buah tangan bagi para wisatawan.

Baca juga: Warga suku Punan manfaatkan madu kelulut sebagai sumber penghasilan
 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024