Jakarta (ANTARA) - "Kami, Afrika Selatan, tak akan jadi penonton pasif yang hanya bisa menyaksikan kejahatan yang pernah menimpa kami terjadi di tempat lain," kata Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, saat para pengacara negara itu bersiap mengajukan gugatan dugaan genosida di Jalur Gaza oleh Israel di Mahkamah Internasional, dua pekan silam.

Sejak mendiang Nelson Mandela memimpin negara itu di atas reruntuhan apartheid yang mendiskriminasi manusia pada tingkat paling ekstrem, Afrika Selatan selalu menjadi pendukung besar perjuangan Palestina.

Bagian terindah dari manuver Afrika Selatan di Mahkamah Internasional itu adalah fakta mereka menyingkirkan perbedaan agama dan etnis yang membuat negara di ujung selatan Benua Afrika itu istimewa.

Wilayah gugatan itu terjadi di daerah di mana mayoritas masyarakatnya memeluk Islam, padahal Afrika Selatan adalah negara berpenduduk mayoritas Kristen.

Pesan Afrika Selatan jelas bahwa panggilan untuk berjuang menegakkan keadilan tak bisa dibatasi oleh agama, ras, dan sejenisnya.

Afrika Selatan, seperti disebut Ramaphosa, akan terus memperjuangkan keadilan global, kendati pihak yang mereka bela berbeda suku bangsa dan agama dengan mereka.

Afrika Selatan pun terlihat memiliki peradaban yang lebih maju.

Mungkin karena itulah, Israel dan Barat, tak berusaha menghalangi Afrika Selatan dalam mempresentasikan gugatan hukum di Istana Perdamaian, Den Haag, Belanda, yang menjadi tempat Mahkamah Internasional berada.

Padahal, sebelum ini sulit sekali mengadili negara kecil itu, tapi memiliki backing sangat kuat, seperti Israel.

Gugatan Afrika Selatan itu membawa bobot lebih, bukan hanya karena status penggugat yang tak terikat apa pun, kecuali menegakkan keadilan, tapi juga karena kali ini Israel merasa harus menjawabnya.

Sebelum ini Israel kerap memboikot peradilan dan penyelidikan internasional yang disponsori PBB. Mereka selalu menggunakan dalih bias, tidak fair, dan anti-Yahudi.

Kali ini, mereka tak melakukannya. Sebaliknya, Israel menerjunkan tim hukum tingkat tinggi untuk mementahkan gugatan Afrika Selatan.

"Ini petunjuk mengenai betapa seriusnya Israel memandang kasus ini," tulis Associated Press pada 27 Januari, sehari setelah Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan awal atas gugatan genosida Gaza yang diajukan Afrika Selatan.


Jangan hilangkan barang bukti

Sehari sebelum tim hukum Israel menyampaikan presentasi hukum di Den Haag, pada 10 Januari 2024, Times of Israel, salah satu media mereka, mengingatkan negaranya, dengan menyatakan "Israel harus khawatir karena menghadapi bahaya besar di Den Haag dalam kaitan kasus genosida Gaza."

Kendati anggapan Israel melakukan genosida di Jalur Gaza aneh bagi sebagian kalangan, tapi Times of Israel menilai tuduhan itu amat serius, yang, bahkan, putusan sementara dari Mahkamah Internasional pun akan berpengaruh buruk terhadap status dan reputasi internasional Israel, yang bisa berakibat secara diplomatik dan politik.

Kekhawatiran itu terbukti, manakala majelis hakim Mahkamah Internasional yang dipimpin hakim Joan Donoghue, memerintahkan Israel mencegah genosida di Gaza, yang merupakan salah satu dari beberapa putusan mahkamah itu.

Kendati tak menyimpulkan Israel melakukan genosida di Gaza, Mahkamah Internasional menerima argumentasi Afrika Selatan bahwa tengah terjadi genosida di Gaza, paling tidak ada indikasi ke arah itu.

Mayoritas dari 17 hakim Mahkamah Internasional memutuskan Israel harus sedapat mungkin menghindari pembunuhan warga sipil Palestina, penderitaan fisik dan mental, tak mencegah warga Palestina melahirkan anaknya, dan seterusnya.

Israel diperintahkan untuk sedapat mungkin “mencegah dan menghukum” mereka yang menghasut genosida, seperti pernyataan para pejabat mereka, termasuk Presiden Isaac Herzog dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant yang menurut Afrika Selatan telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menjadi bukti genosida di Gaza disponsori oleh negara.

Selain memerintahkan Israel segera mengatasi bencana kemanusiaan di Gaza, Mahkamah Internasional juga meminta Israel tak menghilangkan atau menghancurkan bukti-bukti mengenai adanya genosida di Gaza.

Mahkamah itu memberi waktu 30 hari kepada Israel untuk melaporkan semua langkah, berkaitan dengan perintah-perintah mahkamah dalam putusan tanggal 26 Januari tersebut.

Mungkin ini bukan kemenangan paripurna Afrika Selatan dan Palestina, apalagi Mahkamah Internasional tak memerintahkan Israel agar menghentikan perang di Gaza, demi menghormati hak Israel dalam membela diri yang memang hak melekat pada setiap negara berdaulat.

Meskipun demikian, badan hukum tertinggi PBB itu selaras dengan pandangan Afrika Selatan bahwa situasi di Gaza sudah merupakan malapetaka.

Putusan itu menjadi pukulan besar bagi Israel dan sekutu-sekutunya di Barat, termasuk Amerika Serikat, yang sejak awal menilai gugatan Afrika Selatan itu tak berdasar dan menganggap tak ada genosida di Gaza.

Ternyata, Mahkamah Internasional menilai ada risiko masuk akal bahwa hak rakyat Palestina untuk terlindung dari genosida, terancam dilanggar oleh Israel.

Ironinya adalah penilaian itu didasarkan pada konsep-konsep seperti "kejahatan terhadap kemanusiaan" dan "genosida" yang justru diciptakan bangsa Yahudi sendiri, tepatnya profesor hukum Raphael Lemkin.


Jangan menelan ludah sendiri

Setelah itu, apakah benar Israel tak akan mempedulikan putusan Mahkamah Internasional tersebut?

"Tak ada yang bisa menghentikan kami, termasuk Den Haag (Mahkamah Internasional)," kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, beberapa jam sebelum Mahkamah Internasional mengeluarkan putusan pada 26 Januari.

Banyak pihak yang meragukan itu. Buktinya, setelah Afrika Selatan melayangkan gugatan itu pada akhir Desember 2023, Israel menurunkan skala pasukan tempur di Gaza.

Kalaupun Israel dan Netanyahu tak menggubris putusan Mahkamah Internasional itu, apakah sekutu-sekutunya di Barat berani melalukan hal serupa?

Justru, menurut pakar hukum internasional Antonios Tzanakopoulos dari Universitas Oxford di Inggris, putusan Mahkamah Internasional itu menyulitkan posisi politik sekutu-sekutu Israel.

"Mahkamah Internasional berpandangan bahwa kasus genosida itu paling tidak, masuk akal. Oleh karena itu, jika negara-negara pihak ketiga terus memberikan uang dan senjata kepada Israel, maka mereka kini menyadari bahwa bahwa mereka bisa dianggap membantu dan bersekongkol melakukan genosida, yang terlarang dilakukan oleh semua negara penandatangan Konvensi Genosida," kata Tzanakopoulos, seperti dikutip AlJazeera.

Konvensi Genosida 1948 menyatakan semua negara yang terikat konvensi ini wajib menahan diri untuk tak terlibat dalam genosida. Sebaliknya, mereka diharuskan mencegah terjadi genosida.

Negara-negara Barat menyadari betul konsekuensi putusan Mahkamah Internasional itu, termasuk Amerika Serikat.

Beberapa saat setelah putusan itu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan bahwa, "kami konsisten menegaskan bahwa Israel harus mengambil semua langkah yang bisa dilakukan guna meminimalkan dampak buruk terhadap warga sipil, memperluas akses bantuan kemanusiaan, dan menghindari retorika yang tidak manusiawi."

Pertanyaan paling fundamental adalah, apakah Israel dan Barat berani menelan ludah sendiri mengenai pandangan mereka tentang pentingnya Mahkamah Internasional yang sebagian besar konsep-konsepnya, seperti "kejahatan terhadap kemanusiaan" dan kejahatan perang, dilahirkan dari pemikiran mereka?

Jika mereka nekad mengabaikan putusan Mahkamah Internasional itu, maka mereka otomatis mencopot mandatnya sendiri sebagai kekuatan moral global.

Jika itu yang terjadi, tak ada alasan lagi bagi dunia untuk menggubris mereka, padahal mereka tidak selalu salah dan kiprah mereka tetap dibutuhkan dunia.

Mungkin ini momen bagus bagi Barat dan Israel untuk introspeksi.

 

Copyright © ANTARA 2024