Surabaya (ANTARA News) - Wakil Ketua Bidang Pembinaan Asosiasi Perusahaan Sepatu Indonesia (Aprisindo), Anton Supit, berpendapat bahwa harga produk sepatu Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan harga normal, menjadi kelemahan pemasaran komoditi tersebut di pasar dunia, menyusul adanya tuduhan dumping yang marak dalam beberapa waktu belakangan ini.
"Seperti usaha pada umumnya, tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam usaha sepatu yakni market (pasar), kompetisi dan price (harga). Dari faktor itu, faktor harga yang kini masih jadi kendala," ucapnya di Surabaya, Kamis.
Anton Supit berada di Surabaya terkait dengan kegiatan
"Sosialisasi Menghadapi Tuduhan Dumping" bertema "Strategi Menghadapi Tuduhan Dumping/Subsidi/Safeguard Dalam Rangka Mempertahankan Akses Pasar".
Hadir dalam kesempatan itu, diantaranya Kepala Disperindag Jatim, Cipto Budiono, Ketua Asosiasi Perusahaan Sepatu Indonesia (Aprisindo), Edy Wijanarko serta Direktur Aneka Industri Departemen Perindustrian, Nugraha.
Menurut dia, kualitas produk sepatu Indonesia sudah baik, pasar pun cukup terbuka. Namun, masalah harga masih menjadi kendala, khususnya kendala untuk masuk ke Uni Eropa, karena saat ini ada indikasi penekanan harga (price depression) menyusul tuduhan dumping sepatu Indonesia.
Sepatu Indonesia dituduh dumping, karena sepatu asal Indonesia yang diimpor Uni Eropa dianggap telah merugikan industri sepatu domestik di Uni Eropa, setelah adanya komplain dari industri sepatu domestik.
Seperti diketahui, syarat untuk dituduh melakukan dumping apabila pangsa pasar barang impor asal Indonesia secara individu lebih besar atau sama dengan tiga persen, atau kumulatif bersama negara lain lebih besar atau sama dengan tujuh persen.
Selain itu, dumping margin sebesar dua persen atau lebih, terdapat kerugian yang diderita industri sepatu di Uni Eropa sebagai akibat produk sepatu dumping asal Indonesia.
Berdasarkan data "The Commission of European Community" pada 2004, ekspor sepatu Indonesia menempati urutan ketujuh setelah Vietnam (14,00 persen), Rumania (7,8 persen), India (6,40 persen), China (4,60 persen), Macao (3,30 persen), Brasil (2,50 persen), Indonesia (1,60 persen) dan Thailand (1,20 persen).
Karena itu, guna melakukan pembelaan terhadap tuduhan dumping perlu proaktif dalam mendapatkan informasi tuduhan, mampu mengakses dokumen tuduhan, menanggapi setiap tahapan penyelidikan dengan benar, tepat dan terjaganya kerahasiaan, mencermati keseuaian prosedur penyelidikan serta memahami peraturan organisasi perdagangan dunia (WTO) dan peraturan negara penuduh.
Hal lainnya, mempelajari kelemahan substansi tuduhan dumping, menggunakan kesempatan dengar pendapat dengan penuduh, menyampaikan pembelaan/sanggahan (submisi), bekerja sama dengan importir, asosiasi pengguna produk dan pemerintah dalam menghadapi tuduhan dan menggunakan konsultan hukum bila diperlukan.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006