'Ca pitu' bermakna untuk mengolah satu jenis tumbuhan obat, maka dosis terdiri atas tujuh daun.
Jakarta (ANTARA) - Warga Waesano, Kecamatan Sanonggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, memiliki beragam adat atau kearifan lokal terkait dengan pemanfaatan tumbuhan obat.

Masyarakat di tepi hutan tersebut mengolah tumbuhan obat dengan konsep ca pitu karena dahulu belum memiliki alat ukur seperti timbangan.

Selain pengenalan beragam jenis tumbuhan obat, warga juga memiliki kearifan lokal berupa bagian tumbuhan yang digunakan.

Menurut warga Dusun Lempe, Desa Waesano, Mikael Sempo, masyarakat memanfaatkan bagian-bagian tumbuhan obat berupa daun atau saung, kulit batang (loke), batang (tokor), rimpang (ici), buah (wua), bunga (wela), dan bagian tumbuhan yang menjalar (wase). Bahkan mereka juga memanfaatkan nunu atau getah tumbuhan sebagai obat.

Masyarakat hanya memanfaatkan bagian tertentu itu pada tumbuhan tertentu pula. Sekadar menyebut beberapa contoh pada tumbuhan wasesara masyarakat mengambil bagian daun, menggunakan rimpang ketika mengolah cunis, atau hanya menggunakan kulit batang saat memerlukan tumbuhan cenci.

Hal itu karena warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Jadi, mereka tidak akan memanfaatkan daun cunis, misalnya, untuk pengobatan.

Adapun bentuk kearifan lokal lain berkaitan dengan dosis. Pada umumnya nenek moyang tidak memiliki alat ukur yang terstandarisasi dalam satuan gram atau ons untuk menentukan dosis tumbuhan obat. Warisan nenek moyang di Waesano berkaitan dengan dosis berupa konsep ca pitu.

Dalam bahasa Manggarai kata ca berarti satu, sedangkan kata pitu bermakna tujuh. Jadi, ca pitu bermakna satu tujuh.

Konsep satu merujuk pada sebuah tumbuhan obat, adapun tujuh mengacu pada dosis sebanyak tujuh daun.

Ca pitu bermakna untuk mengolah satu jenis tumbuhan obat, maka dosis terdiri atas tujuh daun.

Demikian pula jika menggunakan akar, buah, atau bunga mengacu pada konsep ca pitu. Khusus dosis kulit batang nenek moyang menggunakan istilah bibil.

Satu bibil setara dengan ukuran telapak tangan orang dewasa ketika keempat jari (minus ibu jari) dirapatkan. Namun, untuk bahan tumbuhan obat berupa kulit batang mereka tidak mengolah hanya sekali seperti halnya ketika mengolah daun atau akar tumbuhan obat.

Menurut warga Waesano, Yosep Subur, masyarakat mengolah kulit batang tumbuhan obat hingga 2—3 kali. Setelah perebusan atau seduhan ketiga mereka akan menggantikan dengan kulit batang yang baru.

Biasanya perebusan kulit batang untuk kali keempat menghasilkan air yang mulai terasa hambar. Hal itu karena kandungan senyawa aktif pada kulit batang pohon itu kian menipis.

Bagian tumbuhan obat lain seperti daun atau buah hanya sekali pengolahan. Itulah sebabnya masyarakat akan membuang daun setelah seduhan atau rebusan pertama.


Cara konsumsi

Masyarakat Desa Waesano memiliki kearifan lokal berkaitan dengan cara mengonsumsi tumbuhan obat, yakni konsumsi segar, seduh, rebus, pucek atau tapal, barak, tembari, dan balur. Konsumsi segar seperti daun sawang dan akar jengok.

Mereka memetik daun sawang, mencuci bersih, mengunyah, dan menelannya dalam bentuk segar seperti lalapan. Konsumsi dalam bentuk segar bukan hanya untuk daun tumbuhan obat.

Cara konsumsi tumbuhan obat yang kedua dengan meremas beberapa saat daun segar tumbuhan obat. Kemudian warga menyeduh hasil remasan daun itu dengan air panas dalam sebuah gelas.

Setelah membiarkan 10 menit, mereka mengonsumsi seduhan itu. Adapun cara ketiga mengonsumsi tumbuhan obat dengan merebus tumbuhan obat itu dalam lewing atau tembikar hingga mendidih.

Warga membiarkan hasil rebusan itu beberapa saat, kira-kira 10 menit, dan mengonsumsinya ketika hasil rebusan itu hangat.

Cara konsumsi tumbuhan obat yang keempat, yakni barak, agak rumit dibandingkan dengan tiga cara sebelumnya.

Masyarakat menyebut hasil olahan atau sediaan tumbuhan obat dalam bentuk barak. Untuk membuat barak mereka mencampur daun tumbuhan obat tertentu dengan beras.

Jenis daun yang menjadi bahan baku dipengaruhi oleh manfaat atau khasiat apa yang diharapkan. Perbandingan antara daun tumbuhan obat dan beras adalah tujuh daun dan segenggam beras.

Menurut Yosep di Dusun Nunang, Desa Waesano, sebelum membuat barak, beras direndam semalam. Keesokan pagi ia meniriskan beras, menumbuk dan mengayaknya hingga memperoleh butiran halus.

Daun tumbuhan obat ditumbuk terpisah dengan beras. Setelah tumbukan daun itu lumat, ia kemudian mencampurkan dengan beras, menumbuk sekali lagi, dan pengayakan terakhir. Hasil tumbukan itu berupa tepung.

Langkah berikutnya menjemur hingga kering agar tahan simpan. Ia menyimpan sediaan itu dalam stoples atau wadah tertentu agar tahan lama.

Selain itu masyarakat juga mengenal pucek atau tapal. Mereka mengolah tumbuhan obat dan meletakkan di atas luka. Misalnya untuk mengatasi perut kembung, diare, dan konstipasi atau sulit buang air besar, mereka menggunakan daun mene yang cukup tua.

Kemudian warga memanggang biji kemiri hingga matang, memarut, dan mencampur dengan daun mene yang telah dilumatkan. Campuran bahan itu dimasukkan ke dalam—maaf–lubang dubur.

“Diare darah sekalipun akan berhenti setelah memasukkan daun mene ke poros,” ujar Maximus Taman yang pernah menggunakan ramuan itu. Dalam bahasa Manggarai kata “poros” berarti dubur.

Bagi kaum perempuan Waesano, tumbuhan obat juga membantu proses persalinan. Hingga kini kaum perempuan Waesano yang hamil tetap mengonsumsi rebusan kulit batang cenci.

Mereka merasakan manfaat atau khasiat seduhan atau rebusan kulit cenci, yakni proses melahirkan dengan mudah, lancar, dan prosesnya pun singkat.

Pascapersalinan mereka mengonsumsi rebusan daun mencok. Banyak perempuan di Waesano yang melahirkan tanpa bantuan campe ata loas atau dukun bayi. Namun, proses persalinan lancar dan selamat. Kasus kematian bayi dan ibu melahirkan di Desa Waesano juga sangat rendah.


​​​​

*) Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pakuan dan Ketua 3 Perhorti.

Copyright © ANTARA 2024