Akan jadi masalah kalau nanti negara-negara penghasil itu melakukan embargo. Karenanya menjadi sangat penting Indonesia bisa memproduksi sendiri katalis ini
Bandung (ANTARA) - Institut Teknologi Bandung (ITB) lewat Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis (TRKK) dan Pusat Rekayasa Katalisis (PRK) menegaskan bahwa Indonesia butuh untuk memproduksi sendiri katalis yang merupakan elemen penting dalam produksi bahan bakar.

Pasalnya, kata Kepala Lab TRKK ITB Melia Laniwati Gunawan, katalis yang merupakan bahan penting pengembangan bahan bakar hijau karena juga merupakan kunci konversi minyak nabati jadi biofuel, kebanyakan masih harus didatangkan dari luar negeri.

"Untuk katalis, kita (kebanyakan) masih impor, dari Jerman, India, China, AS dan lainnya, dan negara luar juga memasang harga yang tinggi karena eksklusifitas bahan baku serta cara pembuatannya," ucap Melia di Kampus ITB Bandung, Rabu.

Lebih lanjut, Melia mengatakan karena bukan komoditas dan bahan baku yang dirahasiakan itu, menyebabkan harga dari elemen hasil rekayasa kimia itu menjadi tinggi, bahkan bisa menjadi daya tawar kepada Indonesia.

"Akan jadi masalah kalau nanti negara-negara penghasil itu melakukan embargo. Karenanya menjadi sangat penting Indonesia bisa memproduksi sendiri katalis ini," ucapnya.

ITB, kata Melia, saat ini tengah mengembangkan dan telah bisa memproduksi katalis ini dengan reaktor yang bisa memproduksi sampai 40 kilogram satu hari.

"Namun di sini masih untuk penelitian. Dan ke depan mudah-mudahan terealisasi proyek strategis nasional pembangunan pabrik katalis di Cikampek, Jawa Barat," ujarnya.

Saat ini, ucap Melia, TRKK dan PRK ITB tengah memfokuskan penelitiannya untuk mengembangkan teknologi katalisis dan sistem pemroses minyak sawit dan minyak inti sawit menjadi berbagai produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi, dengan fokus utama konversi minyak sawit dan inti sawit jadi berbagai bahan bakar nabati dengan didukung berbagai pemangku kepentingan.

Hasilnya, telah ada Bensin Sawit (Bensa) yang setelah melalui penelitian sejak 1982, sempat terhenti sebelum mulai lagi pada 2017 dengan dukungan dana penelitian dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), hingga akhirnya tahun 2019 berhasil diproduksi bensa dengan RON sekitar 110-115 telah mengalami uji coba pemakaian pada motor dari Bandung ke Sabang (Aceh).

Kemudian, ada katalis untuk membersihkan pengotor pada produk nafta dan diesel fosil hingga menghasilkan Diesel Biohidrokarbon yang telah diteliti dan dikembangkan sejak tahun 2005 bersama Pertamina, yang seiring perkembangannya katalis ini dapat digunakan untuk mengkonversi minyak sawit menjadi diesel biohidrokarbon melalui proses hydrotreating.

Katalis hydrotreating yang dikembangkan itu juga, dapat digunakan untuk mengkonversi minyak inti sawit menjadi bio-kerosene (bahan baku avtur), dan berhasil diproduksi bioavtur J2.4 (campuran 2.4 persen bio-kerosene dalam avtur fosil) yang kini telah melalui proses uji statis bahkan uji terbang menggunakan pesawat CN235 Bandung-Jakarta-Bandung.

"Dan uji terbang juga dilakukan dengan pesawat komersial jenis Boeing 737-800 yang terbang dari Jakarta ke Solo, dan kembali ke Jakarta, uji untuk konfirmasi proses produksi dan kualitas bioavtur ini berhasil dengan baik," ujar Melia.

Anggota Tim Pengembang Katalis PRK ITB lainnya, IGBN Makertiharta, mengungkapkan bahwa masih banyak kegiatan dan usaha yang harus dikerjakan agar teknologi katalisis dan proses produksi bahan bakar nabati dari sawit ini dapat diterima dan dikembangkan hingga skala komersial dan diterima oleh masyarakat Indonesia hingga memiliki keekonomian lebih layak.

Namun menurutnya ini potensi besar bagi Indonesia menjadi penghasil bahan bakar nabati mengingat Indonesia adalah produsen minyak nabati terbesar di dunia.

"Dan rumah bagi banyak sekali sumber daya alam minyak nabati, misalnya kelapa, nyamplung, kemiri sunan, malapari, biji karet, biji kapok, dan lain sebagainya, termasuk minyak jelantah," kata Hari.

Tetapi, tambahnya, usaha pengembangan dan hilirisasi hasil penelitian dalam bidang katalis untuk proses produksi bahan bakar nabati ini, harus pula disertai dengan kegiatan-kegiatan lain terkait dengan studi keberterimaan produk, studi pasar, diskusi dan premis tentang kebijakan yang berpihak pada petani dan produk bahan bakar nabati.

"Termasuk studi life cycle analysis, dan lain sebagainya. Artinya keberpihakan pemerintah untuk pemanfaatan sawit sebagai bahan baku bahan bakar nabati mutlak diperlukan," tuturnya.

Baca juga: Perusahaan patungan BUMN jual produk perdana 11 ton katalis NHT
Baca juga: Pembangunan pabrik katalis sinergi BUMN di Karawang rampung

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024