Maluku Tengah (ANTARA) - Pada dini hari itu di Dusun Tanjung Air Panas, Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, cuaca terasa tidak bersahabat di tengah musim paceklik. Gelombang laut cukup tinggi dan hembusan angin kencang. 

Namun demikian, kondisi itu tak lantas membuat para nelayan di tempat yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Ambon, Maluku, tersebut berhenti untuk mengais rezeki, menangkap ikan di lautan.

Bermodal lampu senter yang menempel di dahi, para nelayan berburu udang di bibir pantai. Aktivitas ini setidaknya lebih aman, dibanding harus mengadu nasib ke tengah lautan untuk mencari ikan tuna.

Tapi, tidak demikian dengan La Irfan (44). Ketua Kelompok Nelayan Dusun Air Panas ini merasa optimistis mampu menaklukkan perairan Maluku, setelah sekitar satu bulan lamanya tak ada nelayan di dusun itu menurunkan perahunya ke laut.

Tradisinya, para nelayan baru akan melaut secara massal ketika melihat salah satu dari mereka berhasil menangkap tuna. Karena, dalam mencoba peruntungan, setiap nelayan memerlukan bahan bakar tidak sedikit, sekitar 60 liter dan persediaan makan selama di atas perahu.
Nelayan Dusun Tanjung Air Panas, Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. (ANTARA/M Fikri Setiawan)


Selepas azan subuh, gelombang dan angin laut terpantau lebih stabil. Irfan melangkah diikuti tiga nelayan lainnya dari permukiman yang hanya berjarak belasan meter ke tempat perahu ditambatkan.

Masing-masing nelayan, mengarungi laut menggunakan perahu sampan berukuran 7,5 meter x 1 meter. Tak banyak peralatan yang dibawa, hanya alat tangkap sederhana, yakni hand line atau pancing ulur dan layang-layang berbahan plastik.

Setelah melaju sekitar 2 mil dari tepi laut atau selama 60 menit, Irfan dan nelayan lainnya mematikan mesin penggerak perahu, kemudian mengambil umpan berupa cumi-cumi dan sotong.

Penangkapan ikan dilakukan dengan teknik hand line menggunakan squid jig atau umpan buatan. Umpan ini memiliki tubuh mirip ikan, menyala dalam gelap, dan punya dua mata kail yang bisa digulung untuk menangkap cumi-cumi.

Sekitar 30 menit berlalu, persediaan umpan dirasa cukup untuk bekal memburu ikan tuna hingga siang hari. Mesin tempel atau penggerak perahu kembali dinyalakan dan menyusuri lautan.

Salah satu cara Irfan mendeteksi keberadaan ikan tuna yaitu dengan mengikuti lumba-lumba yang kerap nampak di permukaan. Sebab, lumba-lumba akan memakan ikan-ikan kecil yang juga menjadi makanan bagi ikan tuna.

Cumi-cumi yang digunakan sebagai umpan kemudian diikat di sebuah batu berukuran kepalan tangan orang dewasa menggunakan benang pancing ulur. Beberapa kali cara itu dilakukan Irfan, tapi tak kunjung membuahkan hasil.

Irfan kemudian menerapkan teknik lain menggunakan layang-layang. Cara ini adalah modifikasi dari teknik pancing ulur. Memancingnya mirip dengan bermain layang-layang. Satu benang dikaitkan pada satu sisi layang-layang untuk dikendalikan oleh nelayan. Satu benang lagi terdapat di sisi lainnya untuk dihubungkan dengan mata kail.

Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB, namun keberuntungan tak kunjung menyertai Irfan dan kawan-kawan. Mereka kemudian memutuskan untuk kembali merapat ke tepi laut.

Padahal, di luar musim paceklik biasanya mereka bisa membawa pulang hingga lima ekor tuna meski dengan menggunakan teknik-teknik penangkapan sederhana, ramah lingkungan yang  dilakukan setiap melaut.


Sertifikasi MSC

Sebanyak 33 nelayan kecil yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Dusun Air Panas  di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah  pada Januari 2024, telah tiga tahun mengantongi  sertifikat Marine Stewardship Council (MSC), setelah mendapat pendampingan dari Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI).
Nelayan Dusun Tanjung Air Panas, Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. (ANTARA/M Fikri Setiawan)


​​​​​​​Fisheries Manager AP2HI Herman mengisahkan sulitnya ketika awal melakukan pendampingan para nelayan dalam memenuhi standar keberlanjutan perikanan. Para nelayan menolak, karena beranggapan cara-cara yang diterapkan malah akan menyulitkan mereka.

Namun, AP2HI tak kehabisan akal dengan menempatkan staf yang berasal dari masyarakat lokal, agar lebih mudah melakukan pendekatan dengan nelayan. Sehingga nelayan tertarik, serta merasakan keberlanjutan menangkap ikan dan menuai manfaat kesejahteraan dari akses pasar, kestabilan harga dan bahkan harga premium karena mampu menembus pasar global, seperti Eropa dan Amerika.

Berkah lainnya, Dusun Tanjung Air Panas, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono masuk dalam 79  Kampung Nelayan Maju (Kalaju) tahun 2023.

Hal itu mampu mengubah kesan kumuh kawasan tersebut menjadi lebih bersih, indah, serta menarik untuk dikunjungi. Di tempat ini juga  teredia balai perkumpulan nelayan.

Keberhasilan sertifikasi MSC ini menunjukkan capaian membanggakan bagi AP2HI dan mitra eratnya Yayasan International Pole and Line Foundation (IPNLF) sebagai inisiator awal yang mendorong perikanan berkelanjutan melalui program perbaikan perikanan menuju sertifikasi MSC, terutama perikanan tuna sirip kuning dan cakalang skala kecil yang bernaung pada lembaga sertifikasi ini.

Dengan adanya sertifikasi ini, perikanan skala kecil dan industri yang bekerja sama diharapkan dapat eksis dalam jangka panjang. Dalam pencapaiannya, AP2HI bekerja bersama IPNLF dalam menjalankan Proyek Perbaikan Perikanan (Fisheries Improvement Project) sehingga perikanan tuna di Indonesia dapat dikelola secara berkelanjutan.

MSC selama lebih dari 20 tahun telah mengatasi masalah penangkapan ikan yang berlebihan dengan mendorong orang untuk mengubah perilaku mereka saat membeli makanan laut, melalui program sertifikasi dan pelabelan.

Kolaborasi mitra internasional termasuk ilmuwan, Lembaga Swadaya Masyarakat, regulator perikanan, perusahaan makanan laut, pengecer, dan restoran bekerja sama untuk memastikan makanan laut itu alami, lezat, dan yang utama adalah berkelanjutan.

Di Indonesia, MSC  bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pemangku kepentingan terkait lainnya terus mengembangkan Program Perbaikan Perikanan atau Fisheries Improvement Project (FIP).

Program ekolabel dan sertifikasi MSC mengakui dan menghargai praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan dan membantu menciptakan pasar makanan laut yang lebih berkelanjutan, di antaranya melalui upaya menghentikan perikanan berlebih, mengembalikan stok ikan, menjaga ekosistem dan mengurangi perikanan ilegal, tidak tercatat dan tidak teregulasi.

Program sertifikasi ekolabel MSC bermanfaat bagi upaya menjaga keberlanjutan perikanan sekaligus membuka akses pasar secara global agar dapat bersaing dengan negara lain.

Nelayan mendapat banyak manfaat setelah mengantongi sertifikasi perikanan berkelanjutan, di antaranya permintaan ekspor meningkat dan harga jual yang lebih baik atau stabil.

Manfaat lainnya, terbangun kesadaran mitra perusahaan dalam menjaga laut bagi generasi mendatang. Artinya, bukan hanya produk dan lingkungan yang terjaga, tapi pada proses tersebut ada hak-hak dan kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan mulai dari nelayan hingga pekerja pabrik yang terpenuhi.

Dengan demikian, tak hanya tercapai perikanan yang berkelanjutan, akan tetapi usaha para nelayan juga bisa berlanjut. Melalui usaha ini bisa menghasilkan dampak yang baik bagi lingkungan, bagi nelayan, pekerja pabrik dan semua yang terhubung dengan usaha perikanan seperti ini.


Produksi tuna

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki potensi laut begitu besar. Hasil penilaian stok yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) nomor 50/2017, jumlah potensi yang ada di 11 wilayah pengelolaan perikanan mencapai 12,5 juta ton.

Untuk produksi perikanan tangkap mencapai 6,7 juta ton, dan ini menjadi sumber protein hewani jutaan orang serta lebih dari setengah juta orang bersandar sebagai mata pencaharian. Sehingga, jika tidak dikelola dengan baik maka sumber daya berkurang akibat kegiatan penangkapan ikan,  dan berdampak pada ketahanan pangan secara serius dan dapat berimplikasi kepada masalah ekonomi.

Hal ini menjadi fokus MSC untuk mengimplementasikan program MSC di Indonesia, sebagai upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan yang akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat, keberlanjutan ekosistem dan devisa negara.

Nota kesepahaman antara KKP dan MSC yang ditandatangani pada  2019 dan diperbaharui pada Oktober 2022 menjadi dasar program perbaikan perikanan di Indonesia.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Budi Sulistiyo menyebutkan bahwa produksi tuna dalam negeri mencatatkan tren positif.

Pada tahun 2017 produksi tuna (Thunnus, Tuna Sejati) mencapai 229.481 ton,  naik menjadi 281.565 ton pada tahun 2018. Kemudian, pada tahun 2019 produksi tuna naik 296.417 ton dan 323.477 ton pada tahun 2020 serta 343.393 ton pada tahun 2021.

Dengan capaian itu posisi Indonesia yang berada pada peringkat satu produksi tuna global tidak tergeser. Dalam kurun waktu 2017-2021 Indonesia tak bergeser di peringkat satu produksi tuna global.

Perbandingan Indonesia dengan negara peringkat dua terbesar di dunia juga hampir dua kali lipat. Jepang misalnya, mencatat produksi 137.685 ton di tahun 2021. Pangsa pasar tuna juga masih terbuka seperti ke Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Prancis, Jerman, Kanada, Belanda, dan sejumlah negara lainnya.

Adapun total serapan pasar tuna dunia (termasuk neritik tuna) juga meningkat. Misalnya, pada 2018 sebesar 15,64 miliar dolar AS menjadi 16,81 miliar dolar AS pada tahun 2022.

Nelayan di Dusun Tanjung Air Panas, Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, telah mempraktikkan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan terbukti mampu memberikan nilai tambah bagi mereka, karena ketersediaan ikan di alam  yang lestari  serta harga yang stabil dan cenderung lebih tinggi.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024