Washington (ANTARA News) - Tikus percobaan yang diberi bakteri usus manusia obesitas cenderung mengalami kenaikan berat badan dibanding mereka yang diberi bakteri usus dari manusia yang kurus, demikian dilansir kantor berita Xinhua mengutip para peneliti di Amerika Serikat (AS).

Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Science Amerika Serikat itu menunjukkan transmisi sifat fisik dan metabolik melalui mikroba usus, menggambarkan langkah penting menuju tujuan akhir pengembangan pengobatan anti-obesitas dengan bakteri .

Para peneliti dari Universitas Washington merekrut dua pasang manusia kembar obesitas yang mentransfer mikrobiota usus dalam sampel kotoran mereka ke bakteri usus tikus yang bebas kuman yang telah dibesarkan dalam kondisi steril, tanpa mikroba dari mereka sendiri .

Mereka menemukan bahwa penerima bakteri usus dari kembar yang obesitas, kadar lemaknya jadi lebih tinggi dibanding penerima bakteri usus kembar yang kurus jika tikusnya diberi makan standar.

"Ini bukan disebabkan perbedaan dalam jumlah makanan yang mereka konsumsi, ada sesuatu dalam mikrobiota yang mampu mengirimkan sifat ini. Pertanyaan kami adalah, komponen apa ini?" kata Jeffrey Gordon, direktur Pusat Genome Sciences dan Sistem Biologi di Washington University School of Medicine.

Selama lima hari percobaan itu, para peneliti menemukan tikus yang obesitas jadi kurus tapi tikus yang kurus tidak terkena dampak.

Analisis komunitas bakteri menunjukkan bakteri spesifik yang bernama "Bacteroidetes phylum" dapat lolos dari tikus kurus dan berkoloni dengan tikus obesitas, ini menunjukkan bakteri tersebut bertanggung jawab atas perlindungan melawan kenaikan berat badan.

Menurut para peneliti, bakteri dari tikus gemuk tidak bisa menyerang tikus kurus yang menyebabkan mereka menimbun lemak.

Untuk mempelajari lebih lanjut, para peneliti memberi makan tikus dengan makanan ala Barat modern - rendah serat dan tinggi lemak jenuh - mereka menemukan kedua tikus gemuk dan kurus tampaknya tidak terpengaruh oleh mikroba usus lain.

Namun, ketika hewan-hewan itu diberi "makanan lebih sehat" yang tinggi serat dan rendah lemak, hasilnya sama seperti sebelumnya.

Temuan itu menunjukkan bahwa interaksi yang lebih kompleks antara diet, massa tubuh dan mikrobiota usus mendasari gangguan metabolisme manusia daripada apa yang telah disangka para peneliti.

"Sekarang kita memiliki cara untuk mengidentifikasi interaksi tersebut , tergantung pada asupan makanan, dan memikirkan ciri-ciri asupan makanan tidak sehat apa yang dapat diubah agar mendorong bakteri untuk membangun diri dalam usus kita, dan melakukan pekerjaan yang diperlukan untuk meningkatkan kesehatan kita ini," kata Gordon .

"Di masa depan , nilai gizi dan efek makanan akan melibatkan pertimbangan signifikan mikrobiota yang kita miliki- dan mengembangkan makanan sehat dan bergizi akan dilakukan dari dalam keluar, bukan hanya dari luar ke dalam , " katanya.

Penerjemah: Ida Nurcahyani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013