... sudah semestinya perempuan tak hanya diukur dari statistika dan tak pula sekadar memenuhi kuota keterwakilan.
Jakarta (ANTARA) - Dalam hari-hari ke depan, Bangsa Indonesia bersiap menghadapi pesta demokrasi paling akbar agenda 5 tahunan, yaitu Pemilihan Umum  2024. Pemilu serentak yang bakal berlangsung pada 14 Februari mendatang ini diharapkan bisa berlangsung secara aman dan damai.

Dari pengalaman pemilu sebelumnya, jumlah perempuan pemilih bisa dibilang lebih banyak dibanding laki-laki. Pada Pilpres 2019, jumlah perempuan pemilih lebih banyak sekitar 285 ribu. Dari total pemilih sekitar 192,8 juta terdapat perempuan pemilih sekitar 96,56 juta dan pemilih laki-laki 96,27 juta. 

Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka tahun 2024 ini terdapat daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 204,81 juta jiwa. Jumlah perempuan pemilih sebanyak 102,58 juta pemilih, dan jumlah laki-laki pemilih sebanyak 102,21 juta orang. Oleh karena itu perempuan memiliki peran strategis, termasuk di bidang politik. Tak hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai penyelenggara pemilu. Suara perempuan akan sangat menentukan nasib dan perjalanan bangsa ini.

Oleh karena itulah, wajar jika perempuan seharusnya mendapatkan perhatian dan porsi yang lebih dari kontestan yang memenangi pemilu. Hanya, fakta yang terjadi masih jauh panggang dari api karena posisi perempuan masih belum sepenuhnya mendapat tempat. Keterwakilan di pemerintahan maupun di parlemen masih didominasi laki-laki.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak minimal 30 persen.

Meski demikian, keberadaan regulasi yang mendukung keterwakilan perempuan dalam politik tersebut belum berhasil menutup kesenjangan yang cukup signifikan.

Keterwakilan perempuan dalam parlemen, tenaga kerja profesional, dan kepemimpinan masih jauh dari ideal.

Data menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya mencapai 20,5 persen, lalu meningkat menjadi 21,39 persen karena pergantian antarwaktu  (PAW) DPR pada tahun 2021.

Dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), keterwakilan perempuan bahkan melebihi afirmasi sebesar 30,4 persen. Namun, di tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, keterwakilan perempuan masih di bawah 30 persen.

Lemahnya posisi tawar tersebut menyebabkan perempuan masih dipandang sebelah mata.


Peran perempuan

Ada beberapa alasan kenapa perempuan musti berperan dalam Pemilu 2024, antara lain, untuk memberikan keseimbangan dalam perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, serta pengawasan.

Di samping itu juga demi memberikan ruang berekspresi bagi perempuan dalam menyampaikan kepentingan politik secara mandiri serta mengurangi tingkat diskriminasi terhadap perempuan.

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan dalam kehidupan riil di masyarakat, perempuan; anak-anak, remaja, bahkan ibu-ibu selalu menjadi korban dalam kekerasan rumah tangga maupun kekerasan di lingkungan sosialnya. Yang kita tahu berbagai upaya perlindungan tak kalah gencar dilakukan baik oleh perempuan pembela hak asasi manusia (HAM) maupun Pemerintah sendiri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi, dengan total perkara mencapai 431.471 kasus pada tahun 2019.

Di sisi lain dalam perspektif ekonomi, peran perempuan saat ini sangat dominan dalam menopang ekonomi keluarga. Banyak istri memegang peran ganda yakni di ranah domestik sekaligus ikut menyangga ekonomi keluarga.

Di setiap pusat pelatihan kewirausahaan,  mayoritas pesertanya juga perempuan dan banyak penyaluran kredit juga kepada perempuan. Secara pengalaman atau track record, perekonomian sangat erat dengan keberadaan perempuan, dan kenyataan menunjukkan bahwa rendahnya risiko kredit macet yang disalurkan kepada perempuan.

Di bidang pembangunan kualitas sumber daya manusia, perempuan juga memainkan peran penting. Pengendalian kasus tengkes atau stunting--yang menjadi pembahasan utama akhir-akhir ini-- juga tak terlepas dari peran Ibu. Kualitas keluarga Indonesia sangat tergantung  bagaimana seorang Ibu menjaga kehamilan dan mengurus keluarganya yaitu membesarkan dan mengasuh anak-anaknya.

Padahal dalam sebuah keluarga, pemenuhan gizi hingga fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) mutlak disediakan oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan pemerintah daerah setempat sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam masalah pengentasan kemiskinan, dengan menciptakan harga kebutuhan bahan pokok yang murah.

Kondisi menarik di lingkungan kita di mana perempuan sekarang dan di kemudian hari akan berperan menjadi penentu arah atau trendsetter bagi perempuan lainnya. Kita sering mendengar ungkapan perempuan berdaya maka negara maju. Lantas mengapa perempuan masih menjadi pihak yang terkalahkan? Padahal perempuan dan eksistensinya juga dilindungi oleh undang-undang.

Ada kasus menarik yang menyorot tentang eksistensi perempuan di lingkup perusahaan. Kepemimpinan perempuan ternyata membawa keberhasilan dalam upaya keberlanjutan perusahaan. Perempuan lebih punya visi, resisten dari berbagai kepentingan, sekaligus  mumpuni dalam pengelolaan keuangan maupun pengelolaan sumber daya manusia (SDM).

Maka dari itu sudah semestinya perempuan tak hanya diukur dari statistika dan tak pula sekadar memenuhi kuota keterwakilan. Perempuan mestinya juga terus ditingkatkan kualitas dan perannya dalam berbagai sendi kehidupan.

Ungkapan "habis gelap terbitlah terang" barang kali sudah tidak relevan lagi saat ini, bila dikaitkan dengan isu gender pada era digital saat ini. Kini sudah tak ada lagi gelap karena era media sosial (medsos) membuat semuanya terang benderang.

*) Nina Kurnia Dewi adalah Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Perum LKBN ANTARA

Copyright © ANTARA 2024