Pada tahun itu, mayoritas media massa di Lampung mengupah jurnalisnya di bawah angka Rp2.315.280 per bulan. Bahkan, ada yang jauh di bawah angka itu, persisnya di bawah Upah Minimum Provinsi Lampung Rp617.000 per bulan."
Bandarlampung (ANTARA News) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung mengingatkan perusahaan media massa agar dapat terus meningkatkan gaji dan kesejahteraan wartawan, sehingga tidak terjadi praktik perbudakan jurnalis yang tidak jelas penghasilannya.

"Profesi jurnalis bisa dilihat dari dua sisi, sebagai profesional dan buruh atau pekerja. Dalam konteks buruh, jurnalis bekerja sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memiliki hubungan kerja dengan pihak perusahaan," kata Ketua AJI Bandarlampung, Yoso Muliawan, di Bandarlampung, Selasa.

Adanya hubungan kerja, kata dia menjelaskan, mensyaratkan adanya perjanjian kerja secara lisan maupun tertulis yang mengatur syarat-syarat, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban antara pekerja dan perusahaan.

"Ketika perusahaan menuntut pekerjanya, dalam hal ini jurnalis, untuk melaksanakan kewajiban, maka di satu sisi jurnalis itu berhak pula menuntut apa yang menjadi haknya. Ketika hak-hak itu dipenuhi tetapi dengan sangat tidak layak, apalagi tidak dipenuhi sama sekali, maka hal itu bisa disebut sebagai perbudakan dialami jurnalis atau pekerja pers," kata dia lagi.

Koresponden dan stringer, menurut Yoso, seringkali tidak memiliki kejelasan status serta hak-hak seperti asuransi kesehatan dan jaminan sosial tenaga kerja. Padahal, banyak dari mereka yang terkadang sudah memiliki masa kerja hingga puluhan tahun.

AJI Bandarlampung, katanya pula, senantiasa mendorong perusahaan media massa menghentikan praktik perbudakan jurnalis dengan mempedomani Tri Panji AJI yaitu mendorong dan melindungi kemerdekaan pers, mewujudkan profesionalisme, dan meningkatkan kesejahteraan para jurnalis.

AJI berharap tidak ada kejadian menimpa pewarta seperti dialami almarhum Jupernalis Samosir terjadi di Lampung, katanya pula.

Jupernalis adalah pewarta yang telah berkarir selama 15 tahun di media massa, dan akhirnya menghembuskan napas terakhir di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Riau, 9 Juni 2013 lalu.

"Selama bekerja belasan tahun statusnya bukan karyawan tetap. Tidak ada jaminan kesehatan membuat dia menggunakan Jamkesda saat dirawat hingga meninggal dunia. Sebagai profesi penuh risiko, jurnalis layak mendapatkan jaminan asuransi. Peristiwa yang menimpa Jupernalis semoga tidak terjadi di Lampung dan Indonesia lagi," kata dia.

Perihal kondisi kesejahteraan jurnalis di Lampung, menurut Yoso, juga masih memprihatinkan sama seperti umumnya dialami di daerah lain di Indonesia.

Masih banyak jurnalis di Lampung yang digaji tidak layak dan mendapatkan fasilitas kerja yang juga tidak layak, katanya.

"Kehadiran sejumlah media massa baru yang tidak memperhatikan kekuatan modalnya turut mempengaruhi kesejahteraan jurnalis yang bekerja pada media-media baru tersebut. Manajemen media-media baru itu tidak menggaji dan memberi fasilitas kepada jurnalisnya secara layak sehingga mengakibatkan para jurnalisnya menjadi menghalalkan untuk menerima, bahkan meminta amplop uang atau menerima suap dari narasumber," ujar Ketua AJI Bandarlampung periode 2013--2016 itu pula.

Berdasarkan survei terakhir AJI Bandarlampung pada tahun 2008, kata Yoso lagi, jumlah upah layak bagi jurnalis di Lampung minimal sebesar Rp2.315.280 per bulan.

"Pada tahun itu, mayoritas media massa di Lampung mengupah jurnalisnya di bawah angka Rp2.315.280 per bulan. Bahkan, ada yang jauh di bawah angka itu, persisnya di bawah Upah Minimum Provinsi Lampung Rp617.000 per bulan," katanya menjelaskan.

AJI Bandarlampung menurut Yoso, akan terus mendorong media massa di Lampung untuk mengupah jurnalisnya secara layak agar bisa bekerja profesional dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.

AJI Bandarlampung juga mengimbau kepada perorangan atau kelompok yang ingin mendirikan media massa tetapi dengan modal pas-pasan, agar tidak mendirikan media atau bisa mencari peluang usaha yang lain.

Menurut dia, mendirikan media massa dengan modal pas-pasan dan minim akan berdampak buruk, baik terhadap pekerja medianya maupun masyarakat secara umum yang akan menjadi pasar dari produk media tersebut, demikian Yoso Muliawan. (B014/E001)

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013