Jakarta (ANTARA) - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr memenangkan pemilu dua tahun lalu dengan mengajak Sara Duterte, anak dari mantan Presiden Rodrigo Duterte, sebagai wakil presidennya.

Koalisi dua keluarga dinasti politisi berpengaruh di Filipina itu pada saat ini tengah menunjukkan keretakan, antara lain dari kritikan yang dilancarkan mantan Presiden Duterte, kepada Presiden Marcos Jr, pada 28 Januari 2024.

Selain menyebut Marcos Jr sebagai pemalas dan kurang bersemangat, Rodrigo Duterte dalam sebuah acara forum kepemimpinan di Filipina menyatakan bahwa Presiden Marcos saat ini membawa bahaya bagi Filipina dengan mengizinkan akses ke pangkalan militer untuk pasukan Amerika Serikat.

Seperti diketahui, pada 2023, pemerintahan Presiden AS Joe Biden dan pemerintahan Marcos menyelesaikan perjanjian untuk mengizinkan militer AS mengakses empat pangkalan militer Filipina tambahan di bawah Persetujuan Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA).

EDCA itu sendiri adalah kesepakatan berjangka 10 tahun yang ditandatangani pada April 2014 antara Presiden AS ketika itu, Barack Obama, serta Presiden Filipina ketika itu, Benigno Aquino III.

Perjanjian antara kedua negara tersebut membuat AS dapat meningkatkan kehadiran militernya di Filipina, termasuk lima pangkalan yang telah dibuka Filipina untuk pasukan AS mulai 2016.

EDCA, yang semakin diperkuat oleh Presiden Marcos saat ini, dipersepsikan negatif oleh Duterte yang selama masa kepemimpinannya sebagai kepala negara menjalankan kebijakan yang cenderung pro-China.

Merapat ke AS

Duterte pernah berkunjung ke China untuk menemui Presiden Xi Jinping pada Juli 2023. Dalam pertemuan tersebut, Xi mengajak Duterte untuk terus memajukan kerja sama kedua negara karena Presiden Marcos dinilai lebih merapat ke AS.

Duterte juga dalam sejumlah kesempatan menegaskan bahwa Filipina bisa menjadi "kuburan" jika terjebak dalam ketegangan antara AS dan China.

Menurut ensiklopedia dunia maya Wikipedia, hubungan antara AS dan Filipina secara historis sangat kuat dan kerap digambarkan memiliki "hubungan khusus".

Hal itu dapat dipahami antara lain karena Filipina itu sendiri adalah koloni AS antara tahun 1898 dan 1946. Selain itu, kedua negara juga telah memiliki perjanjian pertahanan bersama yang dimulai sejak 1951.

Sebagai salah satu mitra tertua dari Amerika Serikat, Filipina juga kerap dipandang sebagai salah satu sekutu utama yang strategis non-NATO bagi negara adidaya tersebut.

Sejumlah survei yang diambil sejak beberapa dekade lalu juga menunjukkan bahwa masyarakat Filipina sangat memandang positif pengaruh AS dan memiliki persepsi yang baik akan AS.

Tidak mengherankan bila Filipina juga kerap disebut sebagai salah satu negara paling pro-AS di dunia.

Tidak erat

Sementara dengan China, secara historis memang hubungan Filipina tidak seerat dengan AS, tetapi hubungan bilateral kedua negara dinilai mengalami kemajuan yang signifikan termasuk pada masa kepemimpinan Presiden Duterte.

Duterte sebagai kepala negara berupaya meningkatkan hubungan dan kerja sama serta mengembangkan relasi yang lebih kuat dan stabil dengan China, apalagi negeri Tirai Bambu itu adalah mitra perdagangan utama Filipina.

Namun, ketegangan kerap terjadi terutama dalam masalah sengketa wilayah di Laut China Selatan, di mana China melakukan klaim "sembilan garis putus-putus" di wilayah perairan tersebut, yang disengketakan dengan berbagai negara di kawasan Asia Tenggara.

Kasus arbitrase yang dibawa oleh Filipina di bawah ketentuan arbitrase Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) juga memutuskan pada 2016 bahwa tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya di wilayah laut yang termasuk dalam "sembilan garis putus-putus" tersebut.

Belum lagi dalam sejumlah survei, persepsi masyarakat Filipina terhadap China cenderung ke negatif, atau tidak positif seperti terhadap Amerika Serikat.

Bila ditarik kepada pecahnya koalisi antara Duterte dan Marcos Jr, maka bisa saja konflik internal memengaruhi kebijakan terkait bagaimana menghadapi ketegangan yang masih terjadi di kawasan perairan Laut China Selatan, yang tentu saja terkait erat dengan berbagai negara dalam organisasi ASEAN.

Apalagi, bila perseteruan tersebut dimanfaatkan berbagai pihak terkait dalam melakukan permainan catur geopolitik global dalam konteks tarik-menarik pengaruh antara AS dan China.

Meradang

Selain itu, isu bahwa Presiden Marcos Jr berkeinginan untuk bergabung kembali dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) juga membuat Duterte meradang karena adanya tuduhan hukum terhadap Duterte dari ICC terkait kebijakannya untuk memberantas pengedar narkoba saat Duterte menjadi Kepala Negara.

Duterte pada 30 Januari juga menyuarakan adanya keinginan dari sejumlah kelompok politik lokal Mindanao untuk memisahkan diri dari Republik Filipina.

Mindanao itu sendiri merupakan pulau terbesar kedua di Filipina, tepatnya di sebelah selatan negara tersebut (Luzon adalah pulau terbesar di Republik Filipina).

Sebagai wilayah yang kerap disebut sebagai lumbung pangan Filipina, Mindanao dalam sejarahnya juga kerap terpapar isu pemisahan diri, terutama terkait dengan periode konflik dengan pemberontak kelompok Moro, sejak akhir 1960-an hingga pembentukan BAR atau  Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao.

Dengan mantan Presiden Duterte yang terus-menerus menyerang Marcos, maka posisi yang dihadapi sang Wapres Sara Duterte juga disorot. Tetapi pada saat ini Sara Duterte masih menyatakan dukungannya terhadap Presiden Marcos.

Departemen Pertahanan Nasional juga telah menegaskan akan secara ketat melindungi kedaulatan Filipina, terkait isu pemisahan diri Mindanao.

Berbagai langkah untuk memastikan bahwa pecahnya koalisi di dalam perpolitikan Filipina tidak meluber ke kawasan adalah hal penting, agar jangan sampai ada ketegangan tidak perlu yang tercipta, apalagi bila terdapat indikasi mengarah kepada konflik proksi antara dua kutub besar di dunia.

Copyright © ANTARA 2024