Jakarta (ANTARA) - Selamat datang di era AI-generated content, ketika berita atau artikel bisa dibuat sepenuhnya oleh mesin super, bukan oleh manusia dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.

Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) memang bukan sesuatu yang baru. Tanpa sadar, kita sudah lama menggunakannya pada mesin pencari, media sosial, dan piranti lunak pengolah kata yang kita pakai sehari-hari.

Kecepatannya dalam menemukan kebiasaan pengguna membuatnya lebih unggul dari manusia. Mesin AI bisa diajari untuk "belajar sendiri", menemukan pola dan kecenderungan dari sekumpulan data (dataset) yang sangat besar.

Kemunculan AI penghasil konten (generative AI/GenAI) dalam dua tahun terakhir telah mengubah kebiasaan pengguna. Alih-alih berpikir dengan otak sendiri untuk mengerjakan PR atau membuat kode program, misalnya, netizen kini bisa menyerahkan tugas itu kepada ChatGPT atau Gemini (nama baru Google Bard).

Persoalannya mulai muncul ketika pekerjaan yang diserahkan kepada GenAI memerlukan "sentuhan manusia". Menyerahkan sepenuhnya pembuatan konten yang sensitif secara politik, agama, atau budaya kepada GenAI bisa mendatangkan bencana.

Itulah yang terjadi pada Januari tahun lalu, ketika media teknologi CNET menyulut amarah publik karena diam-diam menyiarkan sejumlah artikel buatan AI. Skandal itu mungkin tak akan terungkap andai saja tidak ditemukan banyak kesalahan dalam artikel-artikel tersebut.

Buah simalakama

Perkembangan pers tidak bisa lepas dari kemajuan teknologi. Digitalisasi telah mengubah cara media dalam menghimpun, mengolah dan menyajikan informasi.

Media cetak yang dulu menjadi primadona dalam industri pers sudah lama redup, ditinggal para pelanggannya yang memilih untuk membaca berita gratis secara seketika dari gawai mereka.

Teknologi dalam bentuk apa pun tidak cuma memberikan manfaat, tetapi juga risiko. Jika manfaatnya jauh lebih besar daripada risikonya, teknologi itu akan berkembang dan digunakan orang.

Sebagai produk teknologi, AI menawarkan banyak hal kepada manusia, termasuk otomatisasi, efisiensi, inovasi, analisis, dan solusi.

Namun di lain sisi, AI juga berpotensi menimbulkan berbagai persoalan, misalnya soal etika, ancaman terhadap pekerjaan manusia, dan menciptakan peluang munculnya kejahatan-kejahatan baru.

Jika dilihat dari skala penggunaannya, GenAI masih tergolong baru. Itulah sebabnya kenapa pengguna masih menemukan kekeliruan atau kesalahan pada konten yang dihasilkannya.

Dalam kondisi seperti ini, wajar jika penggunaan GenAI di bidang pers masih menjadi "buah simalakama". Tidak dipakai, tertinggal; dipakai, bisa menimbulkan masalah.

Belum diregulasi

Berkaca pada persoalan yang masih ditimbulkan oleh AI penghasil konten, sejumlah negara dan kawasan telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur penggunaanya, meski belum ada satu pun regulasi yang mengikat secara global.

Uni Eropa saat ini masih mematangkan undang-undang tentang kecerdasan buatan (AI Act) untuk melindungi kepentingan publik. UU itu tidak hanya mengatur penggunaan AI dalam pembuatan konten, tetapi juga model AI lain yang dipakai oleh berbagai industri, seperti kesehatan dan transportasi.

Amerika Serikat, basis dari berbagai inovasi kecerdasan buatan, juga masih belum mengeluarkan regulasi tentang AI, meski Presiden Joe Biden telah mengeluarkan perintah  eksekutif pada Oktober 2023.

Belum adanya regulasi yang mengatur penggunaan AI jelas menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan, terutama publik, yang menjadi target dari konten yang dihasilkan oleh GenAI.

Survei oleh Pew Research Center pada pertengahan tahun lalu menunjukkan bahwa 52 persen warga Amerika merasa khawatir dengan meningkatnya penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari. Dari sekitar 11.000 responden, hanya 10 persen yang menyatakan "senang".

Kondisi itu berbeda dengan di Indonesia, di mana penduduknya termasuk yang optimistis dalam hal penggunaan AI, seperti diungkapkan oleh Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria di sebuah forum global yang membahas tata kelola AI.

Pengaturan AI di Indonesia masih sebatas pedoman yang sifatnya tidak mengikat melalui sebuah surat edaran dari Menteri Kominfo. Namun, dikabarkan bahwa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah menggodok draf peraturan presiden tentang penggunaan AI.

Seteru atau sekutu?

Terlepas dari risikonya, penggunaan AI di berbagai bidang, termasuk pers, adalah keniscayaan. Membatasi penggunaannya tanpa memandang manfaat yang ditawarkan teknologi ini, bisa membuat industri pers tertinggal dari sektor lain.

GenAI bisa dimanfaatkan oleh media untuk menghasilkan konten repetitif, seperti prakiraan cuaca, perkembangan bursa, atau kondisi arus lalu lintas, sehingga wartawan betulan bisa lebih fokus menulis artikel atau hasil liputan yang memerlukan "sentuhan manusia".

“Jurnalis mungkin paham betul soal data dan mampu menulis berita yang hebat,” kata Direktur Kemitraan Berita Associated Press (AP) Lisa Gibbs. “Namun, mereka hanya seorang. Apa yang bisa mereka tangani terbatas”.

AI juga bisa dimanfaatkan media untuk melakukan liputan investigasi dengan menelusuri dokumen digital yang tersimpan di internet. Mencari secara manual di Google dan membaca satu per satu halaman yang ditemukan, jelas menghabiskan waktu. Namun, AI bisa melakukannya dengan cepat dan bahkan membuat rangkumannya.

"AI Journalism Starter Pack" yang disusun oleh JournalismAI memuat daftar penggunaan AI yang bisa dimanfaatkan oleh jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Meski menawarkan banyak keuntungan, pers sebaiknya tetap berhati-hati menggunakan GenAI. Proses penyuntingan dalam kerja jurnalistik masih memerlukan keahlian manusia, yang lebih "berperasaan" ketimbang mesin.

Itulah sebabnya, regulasi yang mengikat tentang penggunaan AI di Indonesia sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat dari dampak penggunaan AI secara serampangan.

Memandang AI sebagai sekutu atau seteru, sebagai kawan atau lawan, adalah pilihan. Namun, tidak ada salahnya jika pers nasional terus beradaptasi dengan kemajuan teknologi agar tidak terlindas zaman.
 

Copyright © ANTARA 2024