Tokyo (ANTARA) - Jepang pada 2023 kehilangan statusnya sebagai negara ekonomi terbesar ketiga dunia, digantikan Jerman, dan secara tak terduga tergelincir ke dalam resesi pada kuartal terakhir tahun lalu karena lemahnya permintaan domestik, kata pemerintah negara tersebut, Kamis.

Produk domestik bruto (PDB) nominal Jepang, yang tidak disesuaikan dengan inflasi, berjumlah 4,21 triliun dolar Amerika Serikat (Rp65,7 kuadriliun).

Jumlah itu merupakan yang terbesar keempat di dunia, setelah Jerman yang membukukan 4,46 triliun dolar AS (Rp69,6 kuadriliun), sebagian besar disebabkan oleh penurunan tajam mata uang Yen.

Untuk kuartal Oktober-Desember, perekonomian menyusut 0,1 persen dari kuartal sebelumnya, atau pada tingkat tahunan sebesar 0,4 persen karena belanja rumah tangga dan dunia usaha kurang kuat di tengah inflasi yang mengakar, menurut Kantor Kabinet.

Kontraksi selama dua kuartal berturut-turut menjadikan perekonomian berada dalam resesi teknis, yang merupakan tantangan bagi pemerintah dan Bank Sentral Jepang (BoJ) ketika mereka berupaya mencapai pertumbuhan yang didorong oleh permintaan domestik disertai dengan kenaikan upah.

Para ekonom pengamat sektor swasta yang disurvei oleh Pusat Penelitian Ekonomi Jepang memperkirakan ekspansi tahunan sebesar 1,28 persen. PDB adalah total nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara.
 
“Masalahnya bukan hanya Jepang yang melaporkan pertumbuhan negatif. Permintaan dalam negeri juga anjlok dan datanya sangat buruk,” kata Toru Suehiro, ekonom utama pada Daiwa Securities Co.

Menurut dia, hasil tersebut merupakan “kejutan negatif” bagi pasar.
 
"Hal ini terjadi meskipun (dukungan dari) permintaan terpendam terkait COVID tahun lalu. Pada saat upah riil mulai pulih, tidak akan ada euforia," kata Toru.

Ia menambahkan bahwa BoJ masih akan bergerak untuk mengakhiri kebijakan suku bunga yang negatif pada musim semi ini seperti yang diharapkan oleh pasar keuangan. 

Konsumsi swasta, yang menyumbang lebih dari separuh perekonomian, turun 0,2 persen. Perkembangan itu menandai penurunan kuartal ketiga berturut-turut, sementara rumah tangga bergulat dengan peningkatan biaya hidup dan penurunan upah riil.

Belanja modal juga melemah, turun 0,1 persen. Penurunan itu menjadi sinyal yang mengkhawatirkan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang tetap berhati-hati dalam meningkatkan investasi, meskipun mereka memiliki rencana yang kuat.

“Jerman yang melampaui Jepang menunjukkan pentingnya bagi kita untuk mendorong reformasi struktural dan menciptakan tahap pertumbuhan baru,” kata Menteri Revitalisasi Ekonomi Yoshitaka Shindo pada konferensi pers.

Ia menambahkan bahwa pihaknya akan menerapkan semua langkah kebijakan untuk mendukung kenaikan gaji guna membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan didorong oleh permintaan.

Meskipun permintaan dalam negeri melemah, ekspor terus tumbuh, naik 2,6 persen, dibantu oleh kebangkitan kedatangan wisatawan asing. Pengeluaran pengunjung asing ke Jepang diperlakukan sebagai ekspor dalam data PDB.

PDB nominal meningkat 0,3 persen pada kuartal Oktober-Desember, atau pada tingkat tahunan sebesar 1,2 persen. Secara tahunan, perekonomian Jepang tumbuh 1,9 persen secara riil dan 5,7 persen secara nominal.

Sumber: Kyodo-OANA

Baca juga: Peneliti: Integrasi ekonomi di Asia-Pasifik harus terus ditingkatkan

Baca juga: Aktivitas pabrik Jepang turun pada Juli karena pesanan lesu


 

Jumlah perusahaan bangkrut di Jepang naik 35 persen pada 2023

Penerjemah: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2024