Keraton Yogyakarta sebagai episentrum kebudayaan di Tanah Jawa memegang peran penting untuk pelestarian budaya, termasuk penggunaan bahasa Jawa.
Yogyakarta (ANTARA) - Tembang Asmaradana sayup-sayup terdengar dari Pendapa Pangurakan yang terletak di pojok persimpangan jalan di kawasan Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Aja turu sore kaki/Ana dewa nganglang jagad/Nyangking bokor kencanane/Isine donga tetulak. Artinya: jangan tidur sore anakku/ada dewa yang sedang yang memutari dunia/menenteng bejana kencana/berisi doa tolak bala

Penggalan baris atau gatra tembang macapat yang mengalun indah itu seolah beradu dengan bising lalu lintas di pusat Kota Yogyakarta sore itu.

Michell (32) adalah satu dari sejumlah orang yang sedang berlatih melantunkan syair berbahasa Jawa itu.

Sambil duduk meriung di pendapa, satu per satu dari mereka bergantian menjajal kemampuan membawakan tembang macapat di hadapan pemucal atau pengajar.

Selain untuk Sekolah Macapat, Pendapa Pangurakan miliki Keraton Yogyakarta itu juga digunakan sebagai tempat berlatih karawitan  hingga sekolah dalang.

Meski paling muda di antara siswa Sekolah Macapat yang rata-rata berusia 50 tahun ke atas, Michell tidak canggung bahkan kini telah menginjak tingkat madya sejak awal bergabung pada 2023.

Perempuan berhijab bernama lengkap Michell Rizky Yudit itu sejatinya awam dengan berbagai hal terkait sastra Jawa.

Namun, kerinduan serta keinginan untuk menemukan jati diri sebagai orang Jawa menuntun langkahnya mendaftar sebagai salah seorang murid di Sekolah Macapat Keraton Yogyakarta.

Perempuan kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu mengaku lama tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi sehari-hari utamanya selama berkuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat.

Kerinduannya mendalami bahasa Jawa sebagai "bahasa ibu" muncul setelah ia mendengar lantunan tembang macapat yang dibawakan seorang pria sepuh di teras sebuah masjid di Berbah, Sleman, D.I. Yogyakarta usai dirinya menunaikan shalat isya.

Irama tembang macapat "Pangkur" yang dilantunkan pria sepuh itu mengirim ingatannya kembali ke masa kecil di tanah kelahirannya di Jawa Tengah.

"Ceritanya itu kayak panggilan," ucap perempuan yang sehari-hari mengabdi sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY itu.

Berkat saran dari pria sepuh yang kemudian ia temui itu, Michell akhirnya memutuskan mengikuti Sekolah Macapat di bawah Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhomardowo Keraton Yogyakarta setiap Senin hingga Sabtu sore.

Selain berlatih macapat, ia mendapat banyak pengetahuan mengenai penggunaan bahasa Jawa halus termasuk etika sebagai orang Jawa.
 

Pelestarian bahasa Jawa

Pengaruh globalisasi yang tak terelakkan, menggiring generasi muda atau kalangan masyarakat modern asli Jawa kian canggung menggunakan Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi sehari-hari.

Alih-alih berbahasa Jawa, hasil riset Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2011 menyebut 50 persen dari 23 provinsi di Indonesia lebih memilih menggunakan bahasa asing pada ruang publik.

Kepala Sekolah Macapat Keraton Yogyakarta  Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono turut mencemaskan rendahnya penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu di kalangan generasi muda, termasuk di Yogyakarta.

"Zaman dulu anak-anak selalu menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar, lama-lama tergerus. Kami akui itu," tutur pria yang menjadi abdi dalem keraton sejak 1986 itu.

Lebih dari sekadar alat komunikasi, penggunaan bahasa Jawa -- yang antara lain -- terdiri atas bahasa ngoko, krama madya, dan krama inggil itu juga memuat "unggah-ungguh" atau budi pekerti serta sopan santun kepada lawan bicara.

Untuk itulah, pria berusia 72 tahun itu mengaku masih bersemangat penuh memimpin Sekolah Macapat yang dibuka untuk masyarakat umum termasuk untuk warga luar DIY.

Selain sebagai salah satu benteng pelestari budaya, Sekolah Macapat di Kota Gudeg juga berperan penting menarik minat masyarakat kembali mendalami kekayaan bahasa dan sastra Jawa.

Namun, ia mengakui hingga kini amat sedikit generasi muda yang tertarik mengikuti sekolah macapat yang dibuka secara cuma-cuma itu.

Dari kelas pemula, madya, hingga utama rata-rata masih diisi para siswa berusia lanjut yang berasal dari DIY dan Jawa Tengah.

Sesuai kelasnya, mereka mendapat materi 11 tembang macapat mulai dari Dhandhanggula, Sinom, Durma, Pangkur, Asmaradana, Kinanthi, Mijil, Megatruh, Gambuh, Pocung, dan terakhir Maskumambang.

Selain belajar irama tembang, para siswa juga mendapatkan pemahaman makna beserta wawasan lain seputar bahasa Jawa.

"Terus terang memang sering ada remaja-remaja yang datang ikut berlatih tetapi itu insidental, artinya saat mereka hendak akan lomba macapat saja," tutur pria yang akrab disapa Romo Projo itu.

Ahli Madya Balai Bahasa DIY Ratun Untoro mengakui Keraton Yogyakarta sebagai episentrum kebudayaan di Tanah Jawa memegang peran penting untuk pelestarian budaya, termasuk penggunaan bahasa Jawa.

Meski bahasa yang ada dalam macapat terlampau tinggi dan tidak digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari, paling tidak dapat menarik masyarakat Jawa makin mendalami kekayaan bahasa yang dimiliki.
 

Pedoman bahasa Jawa

Ratun Untoro menuturkan makin menurunnya penggunaan bahasa Jawa sebagai alat bertutur atau bercakap sehari-hari dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya kian luasnya pergaulan masyarakat masa kini.

Dibandingkan masyarakat era dahulu, akses pergaulan mereka makin mudah dan luas, termasuk melalui sarana daring.

Tantangan lainnya adalah kosa kata dalam bahasa Jawa dinilai sudah tidak banyak yang mampu mewakili istilah-istilah baru di era globalisasi.

Misalnya, istilah-istilah dalam internet atau dunia maya, bahasa Jawa belum memiliki padanan kata sama sekali.

Karena kesulitan mencari padanan kata dalam bahasa Jawa, ia menduga banyak generasi muda yang pada akhirnya terpaksa memilih menggunakan kosakata asing atau paling tidak berbahasa Indonesia.

Sesuai hasil Kongres Bahasa Jawa ke-VII pada 2023, Balai Bahasa DIY bersama Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), serta lintas sektor terkait, --dalam waktu dekat -- bakal membuat pedoman umum pembakuan bahasa Jawa yang diserap dari bahasa mana pun, termasuk bahasa Indonesia dan asing.

Setelah pedoman dibuat, nantinya akan dimasukkan ke dalam kamus bahasa Jawa dengan harapan agar masyarakat dapat mengusulkan serapan kosa kata baru dalam Bahasa Jawa untuk kemudian disidangkan.

Ratun berharap seiring upaya menyelaraskan bahasa Jawa dengan era modern saat ini, akan makin banyak generasi muda yang mau atau paling tidak percaya diri menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana berkomunikasi di ruang publik.

Sebab, bahasa Jawa merupakan alat komunikasi yang paling pas dengan geografis, iklim, serta suasana budaya di Jawa.

Manakala bahasa itu tidak lagi digunakan, konsekuensinya masyarakat Jawa berpotensi kehilangan semua unsur kebudayaan asli yang dimiliki.




 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024