Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menerima banding Kejaksaan atas putusan praperadilan tentang Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap Presiden RI periode 1966-1998, HM Soeharto, telah final. "Kejaksaan menyambut positif putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengabulkan banding kita. Dalam praperadilan, putusan pengadilan tinggi adalah yang terakhir," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) I Wayan Pasek Suartha di Jakarta, Rabu. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menerima dan mengabulkan permohonan banding yang diajukan Kejaksaan atas putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto tidak sah. Putusan tersebut menyatakan, SKP3 Soeharto yang diterbitkan oleh Kejaksaan pada 11 Mei 2006 adalah sah menurut hukum sekaligus membatalkan putusan praperadilan SKP3 Soeharto yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Selatan tanggal 12 Juni 2006. Pasek Suartha mengatakan, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta merupakan hasil proses hukum yang harus dihormati seluruh pihak. "Waktu itu PN Jakarta Selatan membatalkan SKP3 Soeharto, itu kan kewenangannya. Kita hormati itu, dan kita tanggapi dengan pengajuan banding. Itu murni proses hukum," kata mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali itu. Ia menolak adanya anggapan bahwa telah terjadi politisasi penanganan perkara, seperti yang diungkapkan sebagian kalangan bahwa putusan PT Jakarta itu dikeluarkan dalam waktu relatif cepat dibandingkan penangana perkara lain. "Ini tidak aneh. Putusan praperadilan memang harus cepat, baik di tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. Ini bukan mengadili pokok perkara," katanya. Ketika ditanya pers tentang kelanjutan penanganan perkara Soeharto, ia mengatakan, pihaknya berharap kasus tersebut dapat dibuka kembali dengan catatan kondisi kesehatan terdakwa laik untuk mengikuti persidangan. "SKP3 keluar bukan karena kurang alat bukti dalam penuntutan perkara, melainkan karena kondisi kesehatan terdakwa yang tidak memungkinkan, sakit permanen," katanya menegaskan. Ia menjelaskan, Kejaksaan akan tetap melaksanakan putusan Mahkamah Agung, yang menyatakan Kejaksaan harus melakukan pengobatan terhadap Soeharto sampai sembuh atas biaya negara sebelum diajukan ke persidangan. "Kejaksaan akan berupaya menyembuhkan sesuai dengan kemampuan tim dokter," katanya. Pada 21 Agustus 2000, Soeharto telah diajukan ke persidangan atas dugaan korupsi senilai 419 juta dolar AS dan Rp1,3 triliun pada tujuh yayasan yang dipimpinnya, namun terdakwa dalam keadaan sakit dan dinyatakan tidak layak diajukan ke persidangan. Pemantauan kesehatan itu melalui koordinasi dengan Tim Penilai Kesehatan Soeharto (TPKS) pada awal Mei 2006, yang menghasilkan rekomendasi bahwa kondisi penguasa Orde Baru itu tidak lebih baik dari pemeriksaan terdahulu, dan Kejaksaan menerbitkan SKP3 mantan Presiden Soeharto pada 11 Mei 2006. Sejumlah kalangan menentang penerbitan SKP3 itu, dan mengajukan praperadilan terhadap Kejaksaan yang dalam putusannya Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan, Andi Samsan Nganro, menyatakan SKP3 itu tidak sah. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006