Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024.
 
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, mengatakan evaluasi berjalan itu bertujuan guna mengetahui efektivitas regulasi tersebut dalam mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di tanah air.
 
Adapun aturan baru ini mengatur tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, serta merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
 
Ia menilai permen itu akan membuat pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil cenderung menunda untuk menggunakan PLTS atap karena kurang menguntungkan.

Baca juga: Dukung pemerintah capai nol emisi, pabrik Pacific Paint pasang PLTS
 
Hal tersebut dikarenakan, dalam regulasi baru itu menyatakan bahwa skema net-metering telah dihapus, sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke penyedia jasa tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.
 
"Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS Atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 - 3 kWp untuk konsumen kategori R1," katanya.
 
Selain membuat masyarakat cenderung enggan menggunakan PLTS atap, pihaknya juga menilai peniadaan skema tersebut akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 gigawatt PLTS pada 2025, serta target energi terbarukan 23 persen di tahun yang sama.
 
Mekamisme peniadaan skema ini juga akan berdampak pada menurunnya tingkat nilai ekonomi PLTS atap, khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari.

Baca juga: Kilang Pertamina Balongan pasang PLTS berkapasitas 1,51 MWp
 
"Tanpa net-metering dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” ujarnya.
 
Selain meminta untuk melakukan evaluasi 1 tahun berjalan terhadap aturan baru tersebut, IESR juga ingin pemerintah untuk melakukan revisi aturan itu di tahun 2025, mengingat seiring menurunnya ancaman kelebihan pasokan listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali.
 
Sementara itu mengutip dari Kementerian ESDM, aturan yang diterapkan pada Januari itu bertujuan untuk meningkatkan tata kelola pemanfaatan energi surya yang ramah lingkungan pada PLTS atap yang digunakan untuk kepentingan sendiri.

Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2024