Beijing (ANTARA) - Utusan khusus China untuk urusan Eurasia Li Hui akan mengunjungi Rusia, Ukraina dan beberapa negara Eropa lainnya untuk mencari solusi krisis Ukraina.

"Mulai 2 Maret 2024, Utusan khusus China untuk urusan Eurasia Li Hui akan mengunjungi Rusia, kantor pusat Uni Eropa (UE), Polandia, Ukraina, Jerman, dan Prancis sebagai putaran kedua diplomasi ulang-alik demi mencari penyelesaian politik atas krisis Ukraina," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Rabu.

Li Hui diketahui pernah juga melakukan kunjungan keliling ke Polandia, Prancis, Jerman dan Rusia pada Mei 2023 lalu dengan misi mencari penyelesaian dalam konflik Ukraina-Rusia.

"Sudah dua tahun sejak krisis Ukraina, konflik terus berlanjut, prioritas paling mendesak saat ini adalah memulihkan perdamaian karena semakin cepat perundingan damai dimulai, semakin sedikit dampak buruk yang akan ditimbulkan," tambah Mao Ning.

Mao Ning menyebut dalam dua tahun terakhir China terus terlibat untuk mendorong perdamaian dan memfasilitasi perundingan.

"Kami berbicara secara intens dengan termasuk dengan Rusia dan Ukraina, yang memainkan peran konstruktif dalam mengatasi krisis ini. China juga sudah menyampaikan kertas posisi soal penyelesaian melalui jalur politik atas krisis ini termasuk dengan mengirimkan utusan khusus untuk melakukan mediasi dengan berbagai pihak," ungkap Mao Ning.

China, menurut Mao Ning, tidak menambahkan bensin ke dalam api konflik, apalagi mengambil keuntungan dari konflik Ukraina-Rusia.

"Hanya ada satu tujuan yang ingin dicapai China yaitu membangun konsensus untuk mengakhiri konflik dan membuka jalan bagi perundingan damai. China akan terus memainkan perannya, melaksanakan diplomasi ulang-alik, mengupayakan konsensus, dan berbagai pengalaman China untuk penyelesaian politik atas krisis Ukraina," jelas Mao Ning.

Pada 24 Februari 2022, Rusia telah melancarkan operasi militer khusus ke Ukraina. Saat ini, sekitar 18 persen wilayah Ukraina masih berada di bawah pendudukan Rusia termasuk Semenanjung Krimea serta sebagian besar Donetsk dan Luhansk di bagian timur.

Organisasi Save the Children mencatat lebih dari 10.500 orang telah tewas imbas invasi, dengan 587 di antaranya merupakan anak-anak.

Selama dua tahun tersebut, sekutu Ukraina juga mengirim berbagai bantuan baik militer, finansial dan kemanusiaan.

Negara-negara Barat menyuplai peralatan tempur seperti tank militer, sistem pertahanan udara hingga artileri jarak jauh. Sementara data dari Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia menyebut berbagai institusi Uni Eropa mengirim bantuan senilai 92 miliar dolar AS (atau sekitar Rp1.438,42 triliun) sedangkan Amerika Serikat mengirimkan 73 miliar dolar AS (atau setara sekitar Rp1.141,35 triliun).

Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam konferensi mengenai Ukraina di Paris pada Senin (26/2) bahkan mengusulkan agar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengirimkan pasukan darat ke Ukraina untuk mendukung Ukraina agar dapat mempertahankan negaranya dari Rusia, namun usulan itu ditolak oleh Jerman dan Spanyol.

Kanselir Jerman Olaf Scholz menyatakan posisi negara-negara sekutu Barat harus menahan diri untuk tidak memancing konflik langsung dengan Rusia.

Jerman adalah negara pemasok senjata kedua terbesar ke Ukraina setelah AS. Sejak Februari 2022, Jerman telah mengirim persenjataan sebesar 17,13 miliar euro (sekitar Rp290,8 triliun), yang terdiri atas howitzer (artileri medan), tank, pengangkut personel lapis baja dan sistem pertahanan udara.

Spanyol juga menolak usulan Macron dan mengatakan fokus pada apa yang sangat dibutuhkan yaitu mempercepat pengiriman senjata.

"Posisi China terhadap krisis Ukraina konsisten dan jelas. Kami menyerukan semua pihak untuk membangun konsensus untuk deeskalasi dan gencatan senjata. China akan terus memainkan peran konstruktif dalam penyelesaian secara politik di Ukraina," ungkap Mao Ning menanggapi pernyataan Presiden Macron.

Sementara Rusia secara terus-menerus memperingatkan agar berbagai negara tidak melanjutkan pengiriman senjata ke Ukraina dengan mengatakan hal itu akan berakibat buruk dengan meningkatkan eskalasi konflik.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sendiri akan berakhir masa jabatannya pada 20 Mei 2024 namun pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak dapat digelar karena perang dengan Rusia masih berkecamuk.

Baca juga: Masa jabatan akan selesai, Zelenskyy minta nasihat Mahkamah Konstitusi
Baca juga: Jerman: NATO dan negara EU tak akan kirim tentara ke Ukraina

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2024