Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi memberi lima poin panduan bagi pembentuk undang-undang dalam menyusun ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang baru untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan seterusnya.

"Mahkamah berpendapat berkenaan dengan ambang batas parlemen sebagaimana ditentukan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang 7/2017 (tentang Pemilu) perlu segera dilakukan perubahan dengan memerhatikan secara sungguh-sungguh beberapa hal," demikian bunyi pertimbangan hukum MK yang dikutip dari salinan Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, sebagaimana diunduh di Jakarta, Jumat.

Pada poin pertama, MK menyatakan ambang batas parlemen harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.

"(3) Perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik; (4) perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029,” urai MK.

Adapun poin kelima adalah perubahan ambang batas parlemen melibatkan semua kalangan yang memperhatikan penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam sidang pleno MK yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (29/2).

Baca juga: Perludem apresiasi putusan MK soal gugatan ambang batas parlemen

Baca juga: MK tegaskan tak hapus ambang batas parlemen, tetapi diatur ulang


Amar putusan MK menyatakan pasal tersebut konstitusional untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan ambang batas parlemen empat persen.

Mahkamah menyebut penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak rasional itu telah menimbulkan disproporsionalitas antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR, sehingga melanggar hak konstitusional pemilih.

Diketahui, Perludem mengajukan permohonan uji materi agar frasa "paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional" pada Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Perludem meminta norma pasal tersebut dimaknai menjadi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara efektif secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR dengan ketentuan: a. Bilangan 75 persen dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah satu, dan di kali dengan akar jumlah daerah pemilihan; b. Dalam hal hasil bagi besaran ambang parlemen sebagaimana dimaksud huruf a menghasilkan bilangan desimal, dilakukan pembulatan”.

MK menyatakan bahwa konstitusionalitas yang dipersoalkan Perludem perihal tata cara penentuan ambang batas parlemen telah dapat dibuktikan. Namun, MK tidak dapat mengabulkan permohonan pemaknaan ulang norma pasal tersebut karena itu merupakan bagian dari kebijakan pembentuk undang-undang.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024