Jakarta (ANTARA) - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin, meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk berani dan tegas menggunakan kewenangan dalam mengusut kasus dugaan politik uang di Pemilu 2024.

"Bawaslu melalui Undang-Undang Pemilu, bisa menindak tindak pidana politik uang, meski melalui Sentra Gakkumdu," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Hal itu disampaikan Usep, menanggapi dua calon legislatif (caleg) Partai Demokrat di DKI Jakarta, yang dilaporkan ke Bawaslu RI dengan dugaan politik uang. Mereka adalah caleg DPR RI di dapil DKI Jakarta 2 Melani Leimena Suharli, dan caleg DPRD DKI Jakarta di dapil DKI Jakarta 7 Ali Muhammad Johan.

Pasangan caleg yang merupakan ibu dan anak itu diduga melakukan politik uang sehari menjelang pemungutan suara Pemilu 2024.

Usep mengatakan, kasus dugaan politik uang yang diduga dilakukan Melani dan Ali, dapat menjadi pembuktian keseriusan Bawaslu dalam menggunakan kewenangan penindakan politik uang, yang telah diberikan lewat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Kasus ini menjadi trigger bagi Bawaslu. Perlu diingatkan kenapa ditambah kewenangan Bawaslu untuk menindak kasus tindak pidana politik uang, karena politik uang susah dilakukan oleh masyarakat sebagai pemantau," katanya.

Baca juga: Polda Sulut limpahkan lima tersangka kasus politik uang ke kejaksaan

Ia mengingatkan, politik uang masuk tindak pidana pemilu. Alasannya, ada dua penyebab kasus politik yang tidak pernah diselesaikan, yakni tidak cukup bukti baik dari temuan maupun laporan serta buntu ketika dibawa ke Sentra Gakkumdu.

Kata dia, Bawaslu bisa menggunakan kewenangan untuk mengumpulkan bukti, karena fungsi pengawasan Bawaslu tak hanya sebatas menerima laporan, melainkan juga mengumpulkan bukti dari dugaan politik uang.

Baca juga: Bawaslu Kota Tanjungpinang hentikan kasus politik uang caleg PDI-P

Sebelumnya, Bawaslu mengonfirmasi telah menerima laporan dugaan politik uang dengan terlapor Melani dan Ali. Anggota Bawaslu RI, Puadi, menyampaikan bahwa penanganan kasus tersebut telah dilimpahkan ke Bawaslu tingkat kota yang sesuai dengan lokasi dugaan politik uang terjadi.

“Benar, laporan ke Bawaslu RI. Dilimpahkan sesuai locus delicti-nya,” kata Puadi.

Baca juga: Bawaslu Kepri sudah periksa 14 saksi dugaan politik uang calon DPD RI

Dia menjelaskan, laporan dugaan politik uang masuk kategori pelanggaran pidana pemilihan umum (pemilu). Sehingga, dalam penanganan kasusnya Bawaslu berkolaborasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

"Karena dugaan politk uang, dan pintu masuknya laporan, telah memenuhi syarat formil-materiil, jadi prosesnya klarifikasi dengan Sentra Gakkumdu," kata Puadi.

Baca juga: Bawaslu Jembrana minta pelapor politik uang lengkapi bukti

Dalam kasus ini, dia memastikan, Melani dan Ali, akan diperiksa. Untuk tahap awal, baik Melani dan Johan diperiksa oleh Bawaslu Kota Jakarta Selatan.

Dugaan pelanggaran pidana pemilu Melani dan Ali hingga saat ini masih berproses, dan telah masuk tahap ajudikasi atau sidang pemeriksaan seluruh pihak berpekara.

Pada Jumat, 1 Maret 2024 Bawaslu Jakarta Selatan telah memanggil dan meminta penjelasan Pelapor atas nama Helly Rohatta, atas laporan yang diregistrasi dengan nomor 001/Reg/LP/PL/Kota/12.03/II/2024.

Baca juga: Bey ajak masyarakat awasi bersama soal serangan fajar Pemilu 2024

Dalam laporannya tersebut, Helly mendalilkan dugaan pelanggaran pidana pemilu Melani dan Ali. Di mana, diduga terjadi pemberian uang pada masa tenang kampanye Pemilu Serentak 2024, tepatnya pada h-1 pencoblosan atau 13 Februari 2024.

Karena hal tersebut, dua Terlapor disangkakan melanggar Pasal 280 ayat (1) huruf j yang menyebutkan, "Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu".

Untuk sanksinya, termuat dalam Pasal 523 ayat 1 yang menyebutkan, "Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta".

Pewarta: Fauzi
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2024