Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan, edukasi dan kepedulian terkait tuberkulosis (TBC) perlu ditingkatkan karena masih ada stigma yang melekat pada masyarakat tentang penyakit itu.

"Stigma tentang penyakit TBC masih ada di sebagian masyarakat, termasuk pada individu pasien TBC dan tenaga kesehatan," ujar Imran dalam keterangan yang diberikan di Jakarta, Sabtu.

Dia menjelaskan bahwa dari sejumlah tantangan dalam penanganan TBC, salah satunya adalah cakupan pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT) yang rendah, sebab ada masyarakat menolak menerimanya karena merasa tidak sakit dan tidak perlu minum obat. Hal itu, katanya, disebabkan informasi tentang TPT yang belum sampai ke masyarakat secara luas.

TPT merupakan pemberian obat untuk mencegah TBC pada orang yang berisiko tinggi terkena TBC, seperti kontak erat penderita TBC dan orang dengan HIV/AIDS.

Baca juga: Kemenkes: Kolaborasi penting guna eliminasi TBC cegah isu multiaspek

Baca juga: Dokter ingatkan batuk tanda TB berlangsung lebih dari dua pekan 


Padahal, kata dia, pemberian TPT bagi orang yang tinggal bersama dengan pasien TBC, orang dengan HIV (ODHIV) dan populasi berisiko lainnya, adalah salah satu cara mencegah agar penyakit itu tidak menjangkit.

Dia menjelaskan bahwa TBC adalah penyakit kronis yang dapat menular dengan mudah melalui udara yang terkontaminasi dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menurutnya, TBC dapat menyerang segala kalangan dan semua kelompok usia.

Dia mengutip data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) yang menunjukkan bahwa notifikasi kasus TBC tahun 2021 sebesar 443.235 kasus, tahun 2022 sebesar 724.309 kasus dan tahun 2023 berdasarkan data per tanggal 1 Februari 2024 sebesar 821.314 kasus.

"Hal tersebut merupakan kabar baik untuk Indonesia karena dengan semakin banyak kasus yang ditemukan maka semakin banyak kasus yang dapat diobati, sehingga rantai penularan TBC dapat lebih cepat dihentikan," katanya.

Menurutnya, pengobatan TBC akan berhasil apabila ada komunikasi dan edukasi yang tepat mengenai tuberkulosis, yang mudah diterima masyarakat awam sehingga stigma tersebut hilang. Dia menilai, upaya seperti itu perlu melibatkan para mitra serta komunitas.

Imran mengatakan sebagai upaya pencegahan, Pemerintah telah menyebarkan informasi dan edukasi tentang gejala dan pencegahan TBC berupa poster, leaflet, iklan layanan masyarakat, posting di media sosial, dan lainnya.

Setelah itu, pasien TBC perlu diberikan pendampingan psikososial dari komunitas serta organisasi penyintas TBC.

Imran mengatakan tenaga kesehatan juga perlu diberikan edukasi mengenai pemberian terapi tersebut. Selain itu, katanya, peningkatan kapasitas perlu digiatkan bagi kader yang mendampingi pasien TBC.

Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan upaya-upaya penanganan TBC oleh pemerintah, seperti pencegahan yang meliputi imunisasi bagi bayi baru lahir, promosi perilaku hidup bersih dan sehat, pengembangan vaksin TBC.

Kemudian upaya-upaya lainnya termasuk surveilans di tempat-tempat berisiko tinggi penularan TBC seperti rumah tahanan, pesantren, penampungan, peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan baik dari segi peralatan maupun sumber daya manusia, serta penguatan kerja sama dengan pemerintah daerah guna memantau progres capaian pengendalian TBC di masing-masing daerah.

Imran menilai penyakit tersebut tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan, namun juga aspek psiko-sosial-ekonomi.*

Baca juga: Dokter: Waspada tuberkulosis laten yang bisa timbul tanpa gejala

Baca juga: Dinas Kesehatan Kudus temukan 261 kasus baru TBC

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024