Semarang (ANTARA) - ​​​Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia memandang perlu membahas bersama Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Sunarto mengenai hukum adat dan masyarakat hukum adat, baik yang terkait dengan penerapan KUHP baru dan pidana adat maupun sejumlah peraturan perundang-undangan lain.

"Dijadwalkan pada hari Kamis (14/3), kami akan beraudiensi dan berdialog dengan Wakil Ketua MA Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. terkait dengan sejumlah isu strategis nasional, khususnya hukum adat dan masyarakat hukum adat pasca-KUHP baru," kata Ketua Umum APHA Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum. ketika dikonfirmasi ANTARA di Semarang, Senin.

Guru Besar Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ini lantas menyebutkan beberapa isu strategis nasional, antara lain, problematika pengaturan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law) dalam KUHP setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Prof. Laksanto mengatakan bahwa APHA Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung telah menyelenggarakan seminar nasional bertema Dinamika Peradilan Adat di Indonesia Pasca-Berlakunya KUHP Baru di Bandung, Jawa Barat, 17—18 Februari 2024.

Ketika ditanya siapa saja yang akan ikut berdialog dengan Wakil Ketua MA, Prof. Laksanto menyebutkan sejumlah guru besar di Tanah Air, antara lain, Prof. Dominikus Rato dari Universitas Jember (Unej), Prof. Rr. Catharina Dewi Wulansari (Unpar), Prof. Abrar Saleng (Universitas Hasanuddin), dan Prof. Robert dari Manokwari Papua Barat. Selain itu, guru besar dari Ternate (Maluku Utara), Medan (Sumatera Utara), dan Lampung.

Sebagaimana ketentuan dalam Pasai 624 UU Nomor 1 Tahun 2023, lanjut Prof. Laksanto, KUHP baru ini mulai berlaku setelah 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, 2 Januari 2023, atau berlaku mulai 2 Januari 2026.

Menurut dia, KUHP baru ini memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat meski relatif sangat kecil.

Sebelumnya, Prof. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, salah satu pemateri dalam seminar tersebut, mengemukakan bahwa konsep living law menekankan pada fleksibilitas dan adaptasi hukum.

"Apabila terlalu banyak perubahan dan interpretasi yang terjadi, akan timbul ketidakpastian hukum. Di samping itu, masyarakat akan sulit memahami dan mematuhi hukum," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali ini.

Pembicara lain, hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Singgih Budi Prakoso, S.H., M.H. memandang perlu membuka seluas mungkin melalui peraturan pemerintah atau peraturan daerah guna memaksimalkan perbuatan yang secara adat merupakan tindak pidana.

"Karena dari segi hukum, kemanfaatan sidang adat dengan pidana adatnya ini betul-betul dirasakan efektif dan disegani oleh masyarakat adat itu sendiri," kata Singgih.

Merujuk pada misi KUHP, salah satunya harmonisasi dan materi hukum pidana nasional, yang mengatur keseimbangan antara hukum tertulis dan hukum yang hidup bersama masyarakat, dia menyarankan agar memungkinkan menghidupkan lembaga adat, sekaligus memberi kewenangan terkait dengan masalah-masalah tindak pidana adat tertentu.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024