Beijing (ANTARA) - Utusan khusus China untuk urusan Eurasia Li Hui merampungkan misi berkeliling ke Rusia, Ukraina dan beberapa negara Eropa lainnya untuk mencari solusi krisis Ukraina.

"Utusan Khusus China untuk Urusan Eurasia Li Hui telah mengunjungi Rusia, markas besar Uni Eropa (UE), Polandia, Ukraina, Jerman dan Prancis mulai 2 hingga 12 Maret. Li Hui melangsungkan pembicaraan dengan pihak-pihak terkait mengenai penyelesaian jalur politik krisis Ukraina," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Selasa.

Kunjungan Li Hui ke beberapa negara dengan misi mencari penyelesaian dalam konflik Ukraina-Rusia adalah yang kedua kalinya karena pada Mei 2023 ia juga pernah berkunjung ke Polandia, Prancis, Jerman dan Rusia.

"Telah ada pertukaran pandangan secara mendalam dan mediasi berbagai pihak sekaligus penyampaian informasi ke beberapa pihak. Semua pihak mengakui pentingnya kunjungan Utusan Khusus Li Hui dan memuji upaya China dalam mendorong perundingan perdamaian," tambah Wang Wenbin.

Wang Wenbin menyebut sudah lebih dari dua tahun sejak krisis Ukraina terjadi dan selama itu pula China mengambil posisi objektif dan tidak memihak serta berupaya membangun konsensus untuk mengakhiri konflik dan membuka jalan bagi perundingan perdamaian.

"Ketika konflik berlarut-larut dan situasi malah mungkin mengalami eskalasi dan memburuk, prioritas paling mendesak saat ini adalah memulihkan perdamaian," ungkap Wang Wenbin.

China, kata Wang Wenbin, dengan tulus berharap pihak-pihak terkait dapat menunjukkan keinginan politik, meredakan situasi dan sama-sama berupaya untuk menerapkan gencatan senjata dini serta mendorong terciptakan arsitektur keamanan Eropa yang seimbang, efektif dan berkelanjutan.

"China akan terus mendorong perundingan perdamaian dan memainkan peran konstruktif dalam penyelesaian lewat jalur politik atas krisis Ukraina," tambah Wang Wenbin.

Namun Wang Wenbin juga menyampaikan kecaman terhadap tindakan Direktur CIA William Burns yang mengatakan kepada Senat bahwa Amerika Serikat akan melanjutkan dukungannya terhadap Ukraina sebagai pesan bahwa AS tidak akan meninggalkan mitranya di Indo-Pasifik sekaligus memicu penguatan kepemimpinan China di Taiwan maupun Laut China Selatan.

"Pernyataan itu menunjukkan bahwa yang benar-benar dipedulikan AS bukanlah Ukraina, namun memanfaatkan krisis Ukraina untuk mewujudkan tujuan strategis geopolitiknya," kata Wang Wenbin.

Pada 24 Februari 2022, Rusia melancarkan operasi militer khusus ke Ukraina. Saat ini, sekitar 18 persen wilayah Ukraina masih berada di bawah pendudukan Rusia termasuk Semenanjung Krimea serta sebagian besar Donetsk dan Luhansk di bagian timur.

Organisasi Save the Children mencatat lebih dari 10.500 orang telah tewas imbas invasi, dengan 587 di antaranya merupakan anak-anak.

Selama dua tahun tersebut, sekutu Ukraina juga mengirim berbagai bantuan baik militer, finansial dan kemanisaan.

Negara-negara Barat menyuplai peralatan tempur seperti tank militer, sistem pertahanan udara hingga artileri jarak jauh. Sementara data dari Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia menyebut berbagai institusi Uni Eropa mengirim bantuan senilai 92 miliar dolar AS (atau sekitar Rp 1.438,42 triliun) sedangkan Amerika Serikat mengirimkan 73 miliar dolar AS (atau setara sekitar Rp 1.141,35 triliun).

Sementara Rusia secara terus-menerus memperingatkan agar berbagai negara tidak melanjutkan pengiriman senjata ke Ukraina dengan mengatakan hal itu akan berakibat buruk dengan meningkatkan eskalasi konflik.
Baca juga: Beijing: Perdamaian di LCS terjaga bila negara lain dukung China-ASEAN
Baca juga: China tak gubris harapan Jepang soal cabut larangan impor produk laut
Baca juga: Putin: Imbas kemungkinan campur tangan NATO di Ukraina akan tragis

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024