Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima gugatan terkait pasal yang mengatur sanksi pembekuan terhadap partai politik yang diajukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam (UIB).

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Suhartoyo ketika membacakan amar putusan perkara dengan nomor 15/PUU-XXII/2024 tersebut dalam Sidang Pleno yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.

Dalam petitumnya, pemohon yang bernama Teja Maulana Hakim meminta agar MK menyatakan Pasal 48 ayat 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan untuk Pasal 48 ayat 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pemohon meminta MK agar menyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Partai Politik yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi".

Adapun Pasal 48 ayat 2 menyatakan bahwa partai politik diberikan sanksi administratif berupa pembekuan paling lama satu tahun apabila melanggar hal yang dimaksud dalam Pasal 40 ayat 2.

Kemudian, Pasal 48 ayat 3 menyatakan bahwa partai politik yang telah dibekukan sementara seperti yang dimaksud dalam ayat 2 dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan dalam Pasal 40 ayat 2, dibubarkan dengan putusan MK.

Sedangkan Pasal 40 ayat 2 yang dimaksud dalam kedua ayat tersebut menyatakan bahwa partai politik dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan serta melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.

Baca juga: Ketua MK: Hakim yang tangani perkara PHPU dapat bantuan keamanan

Baca juga: MKMK sebut telah beri arahan bagi Hakim Konstitusi jelang PHPU

Baca juga: MKMK kembali tegaskan Anwar Usman tidak bisa adili sengketa pemilu


Pemohon merasa sanksi pembekuan bagi partai politik yang telah melanggar Pasal 40 ayat 2 sebagai hal yang tidak masuk akal. Selain itu, pemohon juga menilai partai korupsi yang menyelenggarakan negara untuk mengatur seluruh Warga Negara Indonesia harus dibubarkan.

"Seandainya partai korup telah melanggar ketentuan tersebut yang mengakibatkan disintegrasi negara, apakah pembekuan layak dijatuhi kepada partai politik? Apakah setimpal dengan akibat (potensi: disintegrasi negara)?" jelas pemohon dalam permohonannya.

Atas gugatan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan beberapa pertimbangan hukum, salah satunya adalah MK menilai status pemohon sebagai mahasiswa Fakultas Hukum tidak cukup meyakinkan adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik, khusus, dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi terjadi.

"Menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo," ujar Enny.

Dengan demikian, amar putusan majelis hakim pun menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Pada akhir persidangan, disebutkan bahwa Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, dan Arsul Sani memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Ketiganya berpendapat bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo dan oleh karena itu, MK seharusnya mempertimbangkan pokok permohonan.

Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024