Jakarta (ANTARA) - Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),  stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.

Anak-anak didefinisikan sebagai pengidap  stunting jika tinggi badan mereka lebih dari dua deviasi standar di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Dengan kata lain, stunting terjadi ketika anak memiliki tinggi badan yang sangat pendek untuk usianya.

Stunting telah lama menjadi isu prioritas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa stunting menjadi perhatian pemerintah dan organisasi internasional, di antaranya dampak jangka panjang stunting terhadap kesehatan dan produktivitas.

Di samping itu, dampak terhadap bonus demografi dan kualitas sumber daya manusia. Banyak negara, termasuk Indonesia, akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2030. Ini berarti jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada usia non-produktif (lebih dari 64 tahun). Stunting bukan hanya masalah kesehatan fisik, tetapi juga memengaruhi perkembangan otak dan kemampuan belajar anak-anak.

Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Faktor lingkungan, perilaku, dan layanan kesehatan juga memengaruhi tinggi badan anak.

Kasus stunting sering terjadi pada keluarga dengan kondisi ekonomi rendah. Dengan mengatasi stunting, kita juga berkontribusi pada pengurangan kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial.

Organisasi seperti WHO dan UNICEF menganggap stunting sebagai tantangan global.


Kebijakan penanganan stunting

Untuk mengatasi masalah stunting di Indonesia, Pemerintah telah merancang Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting pada balita turun dari 37,2 persen pada tahun 2013 menjadi 30,8 persen pada tahun 2018. Prevalensi stunting pada baduta (usia 0-23 bulan) juga mengalami penurunan dari 32,8 persen pada tahun 2013 menjadi 29,9 persen pada tahun 2018.

Strategi ini mencakup berbagai intervensi yang melibatkan kerjasama lintas sektor di seluruh tingkatan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Beberapa poin kunci dari strategi ini adalah, pertama, komitmen dan visi pemimpin tertinggi negara. Strategi ini didukung oleh komitmen dan visi dari pemimpin negara.

Kedua, kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku, fokus pada pemahaman perubahan perilaku, komitmen politik, dan akuntabilitas.

Ketiga, konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program dengan mengintegrasikan program nasional, daerah, dan masyarakat.

Keempat, mendorong kebijakan ketahanan pangan dengan memastikan gizi yang cukup bagi anak-anak. Kelima, pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan.

Melalui implementasi strategi kebijakan (policy) ini, diharapkan penurunan stunting dapat dipercepat dan generasi mendatang dapat tumbuh dengan optimal.


Analisis CATWOE

Analisis CATWOE adalah alat pemecahan masalah yang sering digunakan untuk mengidentifikasi dan kemudian mengevaluasi elemen-elemen kunci dari suatu masalah atau situasi. Analisis CATWOE adalah bagian dari Soft Sytem Methodology yang dikembangkan oleh Peter Checkland pada tahun 1981, dan analisis CATWOE diperkenalkan oleh David Smyth yang merupakan salah satu anggota Checkland pada tahun 1975.

Analisis CATWOE merupakan singkatan yang terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:

1. C (Customers): Merupakan pelanggan organisasi. Mereka adalah pengguna dan pemangku kepentingan dari suatu sistem. Identifikasi pelanggan adalah langkah pertama dalam analisis CATWOE, dan selain itu kita perlu mengetahui masalah apa yang mereka hadapi sebelum mempertimbangkan solusi.

2. A (Actors): Biasanya merujuk pada karyawan dalam suatu organisasi. Mereka bertanggung jawab untuk menjalankan proses transformasi. Peran mereka adalah melaksanakan pekerjaan dan terlibat dalam implementasi perubahan dalam sistem.

3. T (Transformation process): Ini mengacu pada proses transformasi yang terjadi dalam sistem atau organisasi. Apa yang harus berubah? Bagaimana proses ini berjalan saat ini dan bagaimana kita ingin mengubahnya?

4. W (World view): Representasi pandangan dunia atau paradigma yang mempengaruhi cara kita memandang masalah dan solusi. Ini mencakup nilai-nilai, keyakinan, dan asumsi yang membentuk perspektif kita.

5. O (Owners): Pemilik sistem atau organisasi. Mereka memiliki kepentingan dalam hasil akhir dan keberhasilan perubahan.

6. E (Environmental constraints): Faktor-faktor eksternal yang membatasi atau memengaruhi sistem. Ini bisa termasuk peraturan, lingkungan, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi operasi.

Dalam mengatasi masalah stunting di Indonesia, kita perlu merancang strategi yang komprehensif dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil dengan mempertimbangkan analisis CATWOE:

Customer, siapa yang terkena dampak? Dalam hal ini adalah anak-anak di Indonesia yang mengalami stunting. Kebutuhan mereka adalah nutrisi yang memadai, perawatan kesehatan, dan lingkungan yang mendukung pertumbuhan optimal.

Actor, siapa yang terlibat dalam penanganan stunting? Pemerintah, lembaga kesehatan, masyarakat, dan keluarga. Peran pemerintah adalah mengimplementasikan kebijakan gizi, meningkatkan akses layanan kesehatan, dan mengedukasi masyarakat. Sementara lembaga kesehatan memberikan layanan kesehatan, pemantauan pertumbuhan, dan edukasi; sedangkan masyarakat dan keluarga berpartisipasi aktif dalam perubahan perilaku dan memastikan gizi yang cukup bagi anak-anak.

Transformation, apa yang harus berubah? Yaitu pola makan dan asupan gizi harus ditingkatkan, kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dan kesehatan harus ditingkatkan, serta akses ke layanan kesehatan harus diperluas. Perubahan tersebut terjadi dengan melakukan kampanye edukasi tentang gizi dan pola makan sehat, program gizi di sekolah dan pusat Kesehatan, serta peningkatan infrastruktur kesehatan dan sanitasi.

Worldview, bagaimana pandangan dunia memengaruhi penanganan stunting? Kesadaran akan pentingnya gizi dan kesehatan harus ditanamkan dalam masyarakat dan pemerintah. Kita perlu mengubah paradigma bahwa stunting bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah nasional yang mempengaruhi produktivitas dan masa depan bangsa.

Owner, siapa yang bertanggung jawab? Di sini yang bertanggung jawab adalah Pemerintah, lembaga kesehatan, dan masyarakat secara kolektif. Pemerintah bertanggung jawab mengalokasikan anggaran, mengawasi implementasi program, dan memastikan keberlanjutan. Lembaga kesehatan memberikan layanan dan pemantauan, dan masyarakat berpartisipasi aktif mendukung program pencegahan stunting.

Environment, faktor lingkungan yang memengaruhi penanganan stunting adalah ketersediaan sumber daya (misalnya, air bersih, pangan bergizi), infrastruktur kesehatan dan sanitasi, serta budaya dan norma masyarakat terkait gizi dan kesehatan. Faktor lingkungan ini memengaruhi solusi dengan meningkatkan akses ke sumber daya serta edukasi dan perubahan norma masyarakat.

Pendekatan itu memberikan kerangka etika pemecahan masalah dengan mempertimbangkan semua perspektif dan sudut pandang yaitu dalam hal penguatan penanganan stunting dan menciptakan masa depan yang lebih sehat bagi generasi mendatang.


*) Lucky Akbar adalah ASN pada Kementerian Keuangan

Copyright © ANTARA 2024