Jakarta (ANTARA News) - Kebebasan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Bila tidak dikelola secara tepat dan benar, akan cenderung menyeret "pemilik"-nya ke lembah nista.

Seperti kata Lord Acton, kekuasaan cenderung menjebak manusia yang menyandangnya untuk korup. Kebebasan pun demikian halnya. Bila tak dikelola secara benar, kebebasan dapat menyeret "pemilik"-nya menjadi pemangsa sesamanya.

Untuk kesekian kalinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan hal yang sama kepada berbagai elemen bangsa. Kali ini, `peringatan` Presiden SBY dikemukakan di hadapan masyarakat Pers Indonesia sesaat setelah menyimak pengumuman pengurus PWI Pusat hasil Kongres XXIII di Banjarmasin.

Dalam suasana yang ringan dan lepas, Presiden SBY mengajak kalangan insan pers untuk mengelola kebebasan dan kekuasaan yang disandangnya secara baik dan benar.

Refleksi Banjarmasin berisi renungan sangat mendalam dan mengingatkan insan pers sebagai salah satu elemen bangsa strategis untuk tetap berada pada track yang juga benar.

Refleksi ini relevan dan boleh dikata merupakan bagian tak terpisahkan dari refleksi yang pernah dikemukakannya bulan Ramadan lalu di Istana Negara. Refleksi aktual yang berangkat dari pengalaman empiris faktual sebagai obyek pemberitaan yang mengalami penderaan selama sembilan tahun mengemban amanah dari rakyat.

Kebebasan sebagai kekuasaan yang tak dikelola dengan baik, akan menjebak manusia menjadi makhluk yang saling terkam satu dengan lain. Lantas, langsung dan tak langsung akan membentuk masyarakat `kanibal.`

Tuhan -- melalui berbagai kitab suci -- secara spesifik mengingatkan manusia untuk mengelola kebebasan secara proporsional, fungsional, dan berorientasi kebajikan. Terutama dalam melakukan proses verifikasi informasi.

Baik terhadap materi maupun sumber informasinya. Secara spesifik Tuhan mengingatkan, informasi tanpa verifikasi akan menimbulkan rumor dan berujung pada fitnah (ghibah, buhtan, dan fitnah).

Dalam tata kelola pers mutakhir untuk menyikapi perkembangan dinamis teknologi informasi yang melahirkan medium-medium baru selaras konvergensi media, kebebasan sebagai kekuasaan banyak terkontaminasi oleh sumber dan materi informasi yang bisa sangat berbahaya bagi kemanusiaan.

Berbagai kejahatan kemanusiaan berkembang akibat sumber dan materi informasi tak terverifikasi. Berbagai kelompok manusia secara sengaja dan terorganisasi menebar kejahatan kemanusiaan (kaum fasik) untuk dan atas nama berbagai kepentingan.

Wikileaks adalah salah satu produk paling nyata, yang dalam banyak kasus, menyeret kebebasan pers ke lembah nista.

Lalu, mengontaminasi kemurnian fungsi dan profesionalitas insan media. Mengotori peradaban modern. Menjadikan media (dalam beragam format) sebagai sarana massa secara penetratif hipodermis menebar kegelapan.

Refleksi Banjarmasin yang dikemukakan Presiden SBY bila disimak dengan tekun, jernih, dan berorientasi kebajikan merupakan pelajaran amat berharga bagi insan pers dan masyarakat Indonesia dalam mengelola demokrasi yang sedang bertransformasi. Dalam konteks itulah setiap insan pers selalu tertantang untuk mau dan mampu mengelola kebebasan (sebagai kekuasaan yang melekat padanya) bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Khasnya dalam menciptakan kondisi terbaik bagi upaya menyejahterakan rakyat.

Sebenarnya, bagi insan pers Indonesia, mengelola kebebasan sebagai kekuasaan bukanlah sesuatu yang musykil. PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) telah sejak lama mempunyai kode etik jurnalistik sebagai code of conduct yang menandai profesionalitasnya.

Kemudian, Dewan Pers bersama organisasi profesi pers dan wartawan telah pula merumuskan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Persoalannya tinggal, bagaimana insan pers memilih jalan paling tepat dalam mengemban fungsi jurnalisme masing-masing.

Di hadapan insan pers Indonesia, terdapat berbagai pilihan untuk menjadikan media sebagai medium perjuangan demokrasi dan kemanusiaan. Ada jalan jurnalisme kebajikan dengan menjadikan media sebagai wahana pencerahan bangsa.

Ada jalan jurnalisme mutilasi dan (yang memangsa obyek informasi dan mencincangnya sehingga kehilangan esensi dan makna fundamentalnya) yang boleh disebut sebagai jurnalisme `pemakan bangkai saudara sendiri.` Ada juga jurnlisme kosmetik yang menghadirkan pers sebagai `salon pembentuk citra` pemiliknya dan mengabaikan kebenaran obyektif.



Melekat

Saya bersepakat dengan pandangan para jurnalis senior yang tak pernah henti menjaga dan memelihara keberlangsungan hidup jurnalisme kebajikan atau jurnalisme pencerahan. Jurnalisme yang mengemban "prophetic mission" dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Dalam konteks transformasi demokrasi yang bergerak jauh ke masa depan, bangsa ini memerlukan jurnalisme kebajikan berdimensi kemanusiaan, sehingga kebenaran dapat tegak di atas keadilan.

Transformasi demokrasi yang tengah berlangsung secara paedagogis memang harus mewadahi tata kelola kekuasaan yang melekat dalam kebebasan secara proporsional. Kita boleh menyebutnya "good journalisme governance". Jurnalisme yang dikelola secara wajar (fairness), jelas (transparant), bertanggung jawab (responsible), dapat dipertanggung jawabkan (accountable), dan merdeka - mandiri (independent).

Refleksi Banjarmasin yang dikemukakan Presiden SBY, boleh jadi menjadi cermin menarik dalam memaknai dan mengelola kebebasan sebagai kekuasaan. Juga bermanfaat dalam merumuskan formula kemerdekaan pers di tengah transformasi demokrasi. Tentu, ketika insan pers hendak memahaminya secara cerdas dan dewasa.

Apalagi di belakang hari, jurnalisme mutilasi yang sering disebut sebagai jurnalisme jalan pedang (bukan jalan pena) telah memengaruhi tata kelola media mainstream, hanya karena ingin memenangkan kompetisi pasar di tengah industri pers.

Insan pers Indonesia sendirilah yang menentukan, karena pemerintah telah berketetapan (dan membuktikan) selama sembilan tahun, tak pernah mereduksi kebebasan pers..

*) Jurnalis

Oleh N. Syamsuddin Ch. Haesy
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013