Pasangan calon, parpol pendukung, tim sukses, dan rakyat pendukung yang kalah dituntut untuk betul-betul menjernihkan hati dan pikiran ...
Bondowoso (ANTARA) - Gegap gempita Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, mulai dari penentuan pasangan capres-cawapres, kampanye, hingga pencoblosan pada 14 Februari 2024 sudah usai.

Setelah pencoblosan, jagat politik bangsa ini masih riuh dengan hasil hitung cepat, baik oleh beberapa lembaga survei maupun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

KPU yang mendapat mandat dari rakyat untuk menjadi penyelenggara pemilihan umum, termasuk pilpres, telah menetapkan hasil Pemilu 2024, dengan menetapkan pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto dengan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang alias mendapatkan suara terbanyak. Prabowo - Gibran kini berstatus sebagai pasangan terpilih dan menunggu pelantikan pada 20 Oktober 2024.

Sejumlah partai politik yang pada pemilu menjadi pendukung pasangan di luar Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka juga sudah mengucapkan selamat atas hasil penghitungan suara oleh KPU itu.

Demikian juga dengan dua organisasi massa Islam besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah mengucapkan selamat kepada pasangan capres-cawapres terpilih itu.

Pandangan lebih lanjut dari NU dan Muhammadiyah atas hasil pilpres itu agaknya perlu menjadi pegangan kita semua sebagai warga bangsa untuk menyikapi hasil yang tentu tidak bisa memuaskan semua pihak.

NU dan Muhammadiyah mendukung para pihak yang tidak puas dengan hasil pilpres untuk menyelesaikan ketidakpuasannya itu melalui jalur hukum, yakni di Mahkamah Konstitusi (MK).

Beberapa pendukung pasangan capres maupun partai politik pendukung Anies Baswedan dengan Abdul Muhaimin Iskandar, serta pasangan Ganjar Pranowo dengan Mahfud Md. telah menempuh jalur konstitusi atau melaporkan adanya dugaan pelanggaran pemilu kepala KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Hasilnya, KPU telah mengambil keputusan bahwa pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar dan pasangan Ganjar dengan Mahfud memang harus menerima kenyataan sebagai yang kalah.

Masih terbuka peluang bagi penantang pasangan Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka untuk menempuh jalur hukum terakhir, yakni dengan mengadu kepada MK.

Pilihan mengadu ke MK adalah sikap yang elegan dan dewasa dari para pihak yang belum menerima kenyataan hasil pilpres yang diselenggarakan pada 14 Februari 2024 itu.

Penyampaian ketidakpuasan melalui "jalur bebas" di jalanan adalah pilihan yang penuh risiko, bukan hanya pada mereka yang terlibat, namun juga bagi kelangsungan hidup bangsa ini ke depan.

Selain itu, aksi demonstrasi untuk memprotes hasil pilpres ini juga berpotensi menimbulkan bentrok antarmassa. Sangat mungkin jika massa dari kelompok pemenang pilpres akan melakukan hal sama menyikapi ketidakpuasan dari kelompok yang kalah.

Kondisi itu tentu saja akan merepotkan banyak pihak, khususnya aparat keamanan untuk mengamankan keadaan agar tidak berujung rusuh.

Sebagai ajang kompetisi, dalam hal ini merebut dukungan suara dari rakyat, pemilu di mana pun tidak pernah bisa memuaskan semua pihak. Ada yang puas dengan hasil pemilihan itu, yaitu pemenang, dan saat bersamaan, mereka yang kalah akan kecewa.

Sistem politik demokrasi adalah pilihan kita bersama, maka segala konsekuensi atas pilihan ini, tidak ada pilihan lain, kecuali hanya menunjukkan sikap legawa alias rela menerima apapun yang terjadi, setelah pemilihan berjalan di atas ketentuan satu orang satu suara.

Kesadaran bahwa kita adalah satu Bangsa Indonesia, memang perlu dihujamkan ke dalam pikiran dan perasaan kita menghadapi hasil pemilu ini.

Jika para aktor utama dalam pemilihan presiden dan wakil presiden ini menunjukkan sikap dewasa dengan memilih jalur hukum, maka sudah selayaknya rakyat pendukung mengikuti sikap itu, dengan tidak melampiaskan ketidakpuasan lewat jalur non-konstitusional.

Sejumlah tokoh hendaknya juga tidak memanfaatkan momentum ketidakpuasan rakyat dengan membakar emosi mereka untuk turun ke jalan yang berpotensi menimbulkan kekacauan dan kerusakan.

Apalagi, saat ini kita berada pada momentum bulan Ramadhan yang merupakan ajang bagi umat Islam untuk meluruhkan ego dan hawa nafsu, dengan tidak menciptakan suasana politik yang memanas.

Pasangan calon, parpol pendukung, tim sukses, dan rakyat pendukung yang kalah dituntut untuk betul-betul menjernihkan hati dan pikiran untuk tidak membabi buta, dengan melontarkan tuduhan-tuduhan yang membuat situasi politik memanas.

Masih terkait dengan Ramadhan, sebentar lagi kita akan menghadapi Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran yang identik dengan momentum saling memaafkan.

Ada yang berargumen bahwa saling memaafkan dalam konteks Idul Fitri itu menyangkut kesalahan orang per orang, bukan pelanggaran dalam konteks politik. Kembali lagi pada konsekuensi pilihan politik berdemokrasi, semua kemungkinan telah disiapkan sarananya, termasuk dugaan pelanggaran yang salurannya disediakan untuk diselesaikan lewat sidang di MK.

Kalau selama ini kita prihatin dengan kasus penghakiman massa kepada pencuri motor atau pencuri ayam, yang seharusnya diserahkan ke penegak hukum, mengapa dalam kasus politik ini kita akan memilih main hakim sendiri, dengan dalih lembaga yang menangani sengketa pemilu tidak netral?

Kejernihan sikap sebagaimana ditunjukkan oleh para pemimpin di PBNU dengan PP Muhammadiyah barang kali bisa menjadi pijakan para pihak untuk menundukkan hati dan pikiran secara jernih.

Kekalahan Prabowo Subianto dalam dua kali pemilu (2014 dan 2019) telah memberi pelajaran besar bahwa kalah di satu waktu pemilihan, bukanlah kiamat untuk merebut kekuasaan. Masih ada waktu 5 tahun ke depan untuk berkompetisi kembali.

Selamat melatih meluruhkan ego seraya menunggu hasil sidang MK terkait laporan pelanggaran pemilu. Mari kita jaga bersama Indonesia ini tetap damai.
 

Copyright © ANTARA 2024