Perilaku hakim itu memang harus benar-benar diperhatikan. Tidak boleh sampai melakukan tindakan yang bisa ditafsirkan macam-macam,
Jakarta (ANTARA) - “Bahwa saya akan menjaga integritas, disiplin, berdedikasi, dan profesional, serta tidak menyalahgunakan kewenangan dan menghindarkan diri dari perbuatan tercela.”

Itulah bagian akhir sumpah yang dilantunkan oleh 737 anggota gugus tugas Perselisihan Umum Pemilihan Umum (PHPU) untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Pileg) Tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sumpah lainnya yang diucapkan adalah janji untuk tidak melakukan ataupun menerima sesuatu dalam bentuk apa pun yang diduga berkaitan secara langsung atau tidak langsung terhadap jabatan. Selain itu, adalah janji akan memegang rahasia yang menurut sifatnya atau perintah harus dirahasiakan.

Ikrar tersebut diucapkan pada hari Selasa, 19 Maret 2023, sehari sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menetapkan hasil Pemilu 2024. Dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, pembacaan sumpah menjadi landasan komitmen lembaga peradilan tersebut dalam memulai tahapan penanganan permohonan PHPU.

Penanganan perkara PHPU atau yang lebih sering disebut sebagai sengketa pemilu, merupakan hal yang yang pelik karena melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan masing masing, di antaranya pemohon, termohon, dan pihak terkait.

Peliknya topik mengenai hasil pemilu dibuktikan ketika sejumlah lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat atau quick count Pemilu 2024, berbagai pihak mulai memberikan reaksinya terhadap hasil yang dikeluarkan. Ada yang bereaksi positif dan ada pula yang bereaksi negatif.

Terlebih setelah dunia perpolitikan Indonesia sempat mengalami kegoyahan usai adanya putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diputuskan oleh MK.


Polemik Putusan 90

Satu hal yang tak lupa dari ingatan publik adalah ketika Mantan Ketua MK Anwar Usman mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Permohonan dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.

Setelah menimbang beberapa hal, MK menilai, dalam batas penalaran yang wajar dan secara rasional, usia di bawah 40 tahun dapat saja menduduki jabatan, baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang setara.

Keputusan itu membuat mata publik tertuju dengan adanya konflik kepentingan terkait status Anwar Usman selaku paman dari Gibran Rakabuming Raka yang mencalonkan diri sebagai wakil dari calon presiden Prabowo Subianto.

Pelesetan MK sebagai “Mahkamah Keluarga” pun muncul di tengah masyarakat karena putusan tersebut dianggap “melicinkan” jalan Gibran untuk melenggang menjadi wakil presiden. Bahkan, sejumlah massa yang terdiri atas berbagai aliansi, mahasiswa, hingga perseorangan sampai turun ke jalan untuk menentang putusan tersebut.

Sikap netralitas MK juga diuji dengan dilantiknya Hakim Konstitusi Arsul Sani pada awal Januari 2024 sebagai hakim yang diajukan oleh DPR untuk menggantikan Wahiduddin Adams yang purnatugas karena memasuki usia pensiun.

Selain sebagai hakim, Arsul juga lekat dikenal sebagai mantan politikus Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pernah mengemban sejumlah jabatan di DPR dan MPR.

Kedua polemik tersebut menimbulkan pertanyaan besar: Apakah MK bisa menjamin bahwa para hakim bisa bersikap netral dalam penanganan perkara PHPU?

Di sinilah kenetralitasan lembaga peradilan tersebut itu mulai dibuktikan. MK mengambil langkah untuk menunjukkan ketegasan sikap mereka dalam menebas berbagai praduga negatif yang diarahkan kepada mereka.

Dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang bersifat ad hoc pada Oktober 2023 untuk mengadili hakim konstitusi yang bermasalah. Berlaku sebagai pemimpin adalah Mantan Ketua MK Jimly Asshidique.

Dugaan pelanggaran etik yang ditujukan kepada Anwar Usman menjadi kasus utama yang ditangani oleh majelis kehormatan. Dalam persidangan yang digelar pada 7 November 2023, Jimly memutuskan bahwa Anwar sebagai hakim terlapor, melakukan pelanggaran kode etik berat dan diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK.

Anwar juga tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.

Karena itu, Anwar tidak diperkenankan mengadili perkara PHPU Pilpres dan PHPU Pileg terkait Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebab Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep memiliki hubungan keluarga dengan Anwar.

Lebih tegasnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebut bahwa apabila ditemukan potensi konflik kepentingan antara hakim konstitusi dan perkara PHPU yang masuk, maka hakim yang bersangkutan akan dipindahkan ke panel perkara lain.

Begitu pula soal keikutsertaan Arsul Sani dalam mengadili perkara PHPU. Keputusan yang diambil dalam rapat para hakim adalah Arsul Sani tetap mengikuti PHPU Pilpres selama tidak ada pihak yang melaporkan keberatan. Adapun untuk PHPU Pileg, Arsul Sani telah menyatakan komitmennya tidak akan terlibat dalam sengketa pemilihan legislatif yang berkaitan dengan PPP.

Menurut Enny, MK sudah mempersiapkan komposisi hakim yang mengadili perkara PHPU dengan hati-hati. MK belajar dari persoalan yang terjadi ketika mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden.


Peran serta MKMK permanen

Pada 7 November 2023, MKMK ad hoc telah memberikan putusan atas pelanggaran etik Hakim Konstitusi. Dalam salah satu putusan tersebut, direkomendasikan dibentuknya MKMK permanen. Kemudian, MK memutuskan membentuk MKMK permanen secara aklamasi untuk menampung aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap kinerja para hakim konstitusi.

Terkait penanganan perkara PHPU, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) permanen yang terdiri atas tiga anggota, yakni satu orang Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, satu orang tokoh masyarakat I Dewa Gede Palguna, dan satu orang akademikus Yuliandri yang berasal dari Universitas Andalas, juga ikut serta dalam aspek preventif dan pengawasan.

Bukan hanya dalam proses pemeriksaan laporan dan pemberian hukuman, Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengatakan bahwa dirinya dan tim juga menyiapkan langkah preventif untuk menjaga kehormatan mahkamah dengan mengingatkan para hakim untuk menjaga perilakunya mengingat perkara hasil pemilu adalah hal yang sangat sensitif.

“Perilaku hakim itu memang harus benar-benar diperhatikan. Tidak boleh sampai melakukan tindakan yang bisa ditafsirkan macam-macam. Bukan hanya ketika memeriksa di persidangan, tetapi juga di luar sidang. Itulah yang coba kami ingatkan,” ucap Palguna.

Proses registrasi perkara kini telah berakhir dan penanganan PHPU akan memasuki tahapan-tahapan selanjutnya hingga akhirnya bermuara pada pengucapan putusan atau keputusan pada 22 April 2024.

Dalam waktu 14 hari, sikap netral yang telah dibuktikan melalui ketegasan terhadap hakimnya, menjadi sikap utama MK dalam penanganan PHPU sehingga dapat memberikan keputusan yang berkeadilan.



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024