Jakarta (ANTARA) - Survei gabungan yang dilakukan Kearney dan Egon Zehnder mengungkapkan bahwa meskipun teknologi kecerdasan buatan (AI) dianggap sebagai pendorong evolusi bisnis dan model organisasi, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait penggantian tenaga kerja dan pelanggaran privasi data.

"Integrasi yang bertanggung jawab terhadap AI memerlukan pemahaman teknis yang mendalam dan mitigasi risiko yang efektif, kita tidak boleh mengabaikan potensi risiko yang terkait dengan penggunaan AI," kata President Director and Partner Kearney Indonesia Shirley Santoso dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Studi lainnya yang dilakukan oleh Kearney memproyeksikan AI memberikan keuntungan ekonomi yang substansial di wilayah ASEAN.

Baca juga: Puan bicara isu perkembangan AI bagi perempuan di forum parlemen dunia

Pada tahun 2030, AI diproyeksikan dapat menyumbang hingga 1 triliun dolar AS pada PDB ASEAN, dengan estimasi bahwa Indonesia sendiri akan berkontribusi sekitar 40 persen, dengan perkiraan kontribusi sebesar 366 miliar dolar AS.

Indonesia telah mengalihkan fokusnya ke pembangunan ekonomi digital dengan menekankan peran kunci AI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi.

"Penting bagi organisasi untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang implikasi AI dan menyesuaikan strategi mereka secara sesuai," kata Shirley.

Menurut laporan survei Kearney, terdapat empat risiko kunci yang harus diprioritaskan oleh para pemimpin bisnis dalam memanfaatkan teknologi AI.

Baca juga: Kenali manfaat dan tantangan yang dihadirkan kecerdasan buatan

Risiko pertama adalah bias data. Kualitas output model AI secara langsung terkait dengan data yang dilatih. Jika data latihan tidak mencerminkan keberagaman dunia nyata secara seimbang, AI dapat menghasilkan hasil yang bias.

Risiko kedua adalah halusinasi data. Model AI generatif sangat akurat tetapi tetap 100 persen yakin bahkan saat salah. Hal ini memerlukan proses keterlibatan manusia untuk terus memverifikasi hasil model.

Risiko ketiga adalah biaya yang membengkak. Seiring dengan meningkatnya volume data yang disimpan oleh platform AI, biaya pengumpulan, penyimpanan, dan pemrosesan juga meningkat.

Risiko keempat adalah ketergantungan dan reliabilitas mengingat adanya kekhawatiran tentang ketergantungan pada AI dan keandalannya. 

Baca juga: PBB sahkan resolusi promosi AI aman untuk pembangunan berkelanjutan

"Para pemimpin bisnis perlu menekankan pendekatan strategis dan bijaksana dalam mengintegrasikan AI, melakukan investasi tambahan sesuai kebutuhan, fokus pada faktor risiko yang kritis, dan mengambil langkah-langkah pragmatis untuk mencapai kesuksesan jangka panjang," ucap Principal Kearney, Rohit Sethi. 

Para pemimpin bisnis dapat menavigasi adopsi AI dengan memprioritaskan faktor-faktor utama yakni mendefinisikan dengan jelas business case untuk integrasi AI, memastikan kualitas dan keandalan data menjadi yang utama.

Kemudian menggabungkan langkah-langkah keamanan yang kuat untuk melindungi data sensitif dan membuat pedoman dan kebijakan etika, menetapkan desain arsitektur yang bijaksana untuk integrasi yang lancar dan dapat diskalakan, dan mendorong adopsi AI yang berkelanjutan, termasuk perubahan budaya di dalam organisasi. 

Baca juga: Wamenkominfo usulkan Indonesia jadi tuan rumah kegiatan tata kelola AI

Baca juga: Sektor bisnis pada 2024 diprediksi kian ramai dengan adopsi Gen AI

 

Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024