Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menekankan bahwa keadilan restoratif tidak boleh diterapkan dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

"Menurut pandangan Komnas Perempuan, kita tidak mengenal restorative justice atau penyelesaian di luar hukum atau perdamaian untuk kasus kekerasan seksual," kata Anggota Komnas Perempuan Bahrul Fuad saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Hal itu dikatakannya menanggapi kasus dugaan kekerasan seksual hubungan sedarah antara kakak beradik di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Menurut dia, pelaku kasus ini harus dijerat dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

"Apalagi ini pelakunya adalah kakak kandung dan itu kalau dalam UU TPKS ada tambahan hukuman sepertiga," kata Bahrul Fuad.

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, pelaku dalam kasus kekerasan seksual mayoritas adalah orang dekat korban.

Untuk itu, hukum harus ditegakkan agar menimbulkan efek jera bagi pelaku dan mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari.

"Untuk mencegah itu terjadi (kembali) maka hukum harus ditegakkan," kata Bahrul Fuad.

Sebelumnya, terungkap kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual hubungan sedarah antara kakak yang berinisial K (21) dan adik berinisial R (16) di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Sang kakak memerkosa adiknya sejak 2021.

Selama kurun waktu tersebut hingga saat ini, sang adik telah mengalami tiga kali kehamilan, yang dua di antaranya keguguran dan satu kali melahirkan anak laki-laki yang kini berusia 2 tahun.

Pelaku K kini telah ditangkap dan ditahan polisi.

Baca juga: Komnas: Budaya patriarki pemicu hubungan sedarah di Bengkulu

Baca juga: Komnas Perempuan: KDRT di Jember lebih buruk dari KDRT pada umumnya

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024