Wellington (ANTARA) - Selandia Baru mengalami erosi tanah tingkat tinggi akibat medan yang terjal, curah hujan yang tinggi, dan gempa bumi, demikian menurut departemen statistik negara tersebut, Stats NZ, pada Rabu (27/3).

Stats NZ mengungkapkan, sekitar 60 persen lahan di Selandia Baru yang sangat mudah terkikis terletak di Pulau Utara (North Island) pada 2022, meski Pulau Utara hanya mencakup 43 persen dari total luas daratan Selandia Baru,

Temuan tersebut konsisten dengan temuan yang dilaporkan pada 2019, walau didasarkan pada data dengan resolusi lebih tinggi hingga 2022.

Erosi tanah dapat berdampak pada produktivitas lahan, kualitas air, bentuk alami lahan, dan infrastruktur, kata Stuart Jones, manajer senior statistik lingkungan dan pertanian Stats NZ.

Menggunakan data yang dimodelkan dari Landcare Research, indikator-indikator menunjukkan tingkat erosi tanah jangka panjang, serta jumlah lahan yang berisiko mengalami tanah longsor, erosi aliran tanah, dan erosi lurah (gully).

Dari seluruh wilayah di Selandia Baru, Gisborne, sebuah kota di pesisir timur Pulau Utara, pada 2022 memiliki proporsi tertinggi untuk lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan yang sangat mudah terkikis, yaitu sebesar 15 persen atau 1.280 kilometer persegi, ujar Jones.

Dia menambahkan bahwa Gisborne juga memiliki jumlah tanah tererosi tertinggi kedua yang terbawa ke saluran air, yakni 36 juta ton, pada 2022.

Titik-titik rawan risiko tanah longsor di mana sedimen ikut terhanyut aliran sungai teridentifikasi di banyak wilayah di Selandia Baru, tutur Jones, seraya mengimbuhkan bahwa wilayah Gisborne memiliki proporsi titik rawan risiko tanah longsor tertinggi, dengan 47 persen sedimen terbawa ke aliran sungai.

Pulau Utara juga mengalami kejadian cuaca ekstrem berupa Siklon Hale dan Gabrielle pada awal 2023, yang tidak tercakup oleh survei 2022.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024