Kuala Lumpur (ANTARA) - Pada Jumat (15/3) Departemen Imigrasi Malaysia (JIM) melaksanakan sebuah operasi yang dijalankan oleh Unit Intelijen Operasional, Divisi Pencegahan Anti-perdagangan Orang dan Anti-penyelundupan Migran (ATIPSOM) dan Pencegahan Pencucian Uang (AMLA) dari Markas Besar Imigrasi Putrajaya di Petaling Jaya, Selangor.

Dari operasi itu mereka menahan tiga orang agen tenaga kerja, seorang laki-laki dan seorang perempuan warga Malaysia, serta seorang perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) karena diduga telah melakukan eksploitasi terhadap empat pekerja migran Indonesia.

Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia Ruslin Jusoh mengatakan fokus dari operasi itu sesungguhnya untuk melacak individu yang diduga bertindak sebagai agen perdagangan manusia dan selanjutnya menyelamatkan para korban. Ada empat perempuan WNI, dengan usia antara 31 hingga 51 tahun yang diselamatkan.

Penyelidikan awal JIM menemukan semua korban dieksploitasi dan agen diduga telah melakukan perdagangan orang. Mereka secara aktif memasukkan, merekrut dan menawarkan layanan sistem pembantu rumah tangga, serta menempatkan korban di sebuah rumah dalam kawalannya.

Biaya layanan pembantu rumah tangga itu tidak murah. Menurut Ruslin, agen menawarkan layanan itu dengan harga 14.000 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp46,5 juta hingga RM20.000 atau sekitar Rp66,5 juta, termasuk menjanjikan pembuatan Pas Lawatan Kerja Sementara (PLKS) untuk calon pembantu rumah tangga.

Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok sebagai agen tenaga kerja, bekerja secara sistematis dari level rukun tetangga di kota-kota besar, bahkan hingga menjangkau pelosok negeri hingga ke kampung-kampung terjauh di Indonesia.

Mereka mengendus dan merayu calon korban yang kepepet, tertindas secara ekonomi, atau orang-orang tanpa bekal pengalaman, pengetahuan, dan informasi yang cukup tentang prasyarat hingga risiko menjadi pekerja migran di negara asing.

Kasus yang dialami oleh Derfi Bisilisin (37) yang diberangkatkan dari Desa Bakuin, Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), lebih dari 12 tahun lalu mungkin tidak terlalu jauh berbeda modus operandinya dengan kasus dugaan perdagangan orang lainnya, termasuk kasus empat WNI di atas.

Derfi dijanjikan memperoleh gaji bulanan RM600 (sekitar Rp1,7 juta dengan kurs RM1 sekitar Rp2.900 pada 2011) dan akan bertambah RM50 per tahun, saat itu, untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, namun ternyata ia harus bekerja di dua tempat, dan tidak menerima gaji. 

Pada kesaksiannya dalam persidangan di Kompleks Mahkamah Kota Bharu, Kelantan, pada September 2023,Derfi mengatakan bekerja di dua tempat dari mulai pukul 05.00 subuh waktu setempat, terkadang hingga pukul 02.00 atau 03.00 hari berikutnya.

Pada pagi hingga menjelang siang dirinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Koe Bon Aik. Selanjutnya Derfi akan diminta menuju bengkel milik keluarga majikan untuk membantu melayani pelanggan yang hendak memasang aksesoris mobil.

Menurut Derfi, terkadang semua itu dikerjakan hingga malam. Sesampainya di rumah majikan dirinya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lainnya sebagai pembantu rumah tangga, sehingga tidak jarang baru dapat tidur sekitar pukul dua dini hari.
 
Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono menjawab ANTARA terkait kasus Derfi Bisilisin di KBRI Kuala Lumpur, Malayasia, Senin (22/1/2024). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Menanti keadilan

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono mengatakan Derfi memang sudah pulang, namun proses peradilan untuk kasus pidana maupun perdatanya di Malaysia masih berjalan.

Untuk kasus pidana, putusan awal di pengadilan menyatakan majikannya tidak bersalah, sehingga, saat itu Derfi akan dideportasi. Saat itu, kedubes mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri Malaysia dan meminta agar Derfi tidak dideportasi karena masih ada hak gajinya yang belum dibayarkan oleh majikan.

KBRI memfasilitasi Derfi mengajukan banding dan ternyata menang. Sekarang pihak majikan yang mengajukan banding atau kasasi, sehingga proses pengadilan masih berjalan.

Hermono mengatakan sempat juga menghubungi Jaksa Agung Malaysia dan Ketua Hakim Negara, meminta perhatian terkait masalah itu.

Selain melalui proses pidana, ia mengatakan kasus Derfi juga diproses secara perdata. KBRI memfasilitasi Derfi untuk menuntut gaji majikan membayar gaji yang tidak pernah diterimanya selama bekerja lebih dari sembilan tahun. KBRI memfasilitasi dengan menyewa pengacara untuk mendampingi Derfi, dan persidangan masih berjalan.


“Sekarang ini kan Derfi dianggap cukup memberikan keterangan setelah di KBRI lebih dari dua tahun, bahkan hampir tiga tahun, tetapi proses hukum pidana maupun perdatanya kan masih berjalan terus,” ujar dia.

Derfi hanya representasi dari sekian banyak kasus pembantu rumah tangga dengan gaji tidak dibayar oleh majikan. Ada yang bekerja 19 tahun, 13 tahun, 12 tahun, 10 tahun dan masih banyak lainnya, kata Hermono.

Kasus-kasus semacam itu yang sering dialami oleh pekerja migran Indonesia, khususnya yang menjadi pembantu rumah tangga dan bekerja secara ilegal. Karena begitu mereka terkena masalah kerja, maka proses penyelesaiannya menjadi sangat sulit dan memerlukan waktu yang tidak cepat. 

“Buktinya kasus Derfi itu sudah hampir tiga tahunan. Nah ini sering terjadi dan masih banyak kasus serupa seperti yang dialami Derfi ini. Semuanya merupakan pekerja di sektor rumah tangga,” ujar Hermono.


Jangan ilegal

Hermono mengatakan akar permasalahan dari semua kasus seperti yang dihadapi Derfi, karena bekerja secara tidak resmi, tidak memiliki visa kerja, sehingga sangat besar memiliki potensi menjadi korban eksploitasi.

Apabila itu yang terjadi, maka, menurut Hermono, proses penyelesaian kasusnya akan menjadi sangat lama dan belum tentu berhasil. Karena tidak semua kasus yang ditangani Perwakilan RI dapat dimenangkan, karena bagaimanapun juga dengan status tidak berdokumen sudah melanggar aturan di Malaysia.

“Jadi jangan menganggap bahwa bekerja secara ilegal di sini (Malaysia) aman-aman saja. Sekarang berbeda, jangan dianggap seperti dulu-dulu. Buktinya sekarang setiap hari ada operasi penangkapan warga negara asing tanpa dokumen,” ujar dia.

Jangan sekali-kali mau dibujuk bekerja di Malaysia dengan cara masuk sebagai turis, misalnya. Karena situasinya untuk bekerja secara tidak berdokumen sangat rentan, baik ditangkap ataupun dieksploitasi, kata Hermono, mengimbau.
 
Koordinator Antiperdagangan Manusia dari Kongregasi Suster Penyelenggaraan Ilahi (PI) Suster Laurentina SDP (keempat kanan) berfoto bersama Romo RD Conterius Lecon Pr (kedua kanan) dan desa usai memberikan sosialisasi berbahayanya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) setelah Misa Natal di Desa Netemnanu Selatan, Amfoang Timur, Senin (25/12/2023). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Cegah TPPO

Koordinator Antiperdagangan Manusia dari Kongregasi Suster Penyelenggaraan Ilahi (PI) Suster Laurentina SDP mengatakan sudah sejak 2012 pihak ya melakukan sosialisasi tentang pekerja migran dan perdagangan orang kepada masyarakat di NTT dengan mendatangi paroki-paroki, desa-desa, dan beberapa kantong migran.

Baru pada 2016 ia mengatakan mulai menangani korban hidup maupun meninggal, dalam artian (melakukan) pendampingan korban meninggal dari 2016 sampai saat ini. 

Suster Laurentina mengatakan dirinya tidak bekerja sendiri, tetapi melakukan jejaring, baik dengan pemerintah maupun pihak gereja yang berada di wilayah penempatan, tempat transit, negara pengirim, hingga kantong-kantong migran.

NTT adalah salah satu provinsi dengan banyak terdapat korban perdagangan orang maupun kasus-kasus pekerja migran yang meninggal. Hingga pertengahan Desember 2023, jumlah yang meninggal 147 orang, sehingga hampir setiap bulan atau setiap minggu selalu ada kargo yang datang membawa jenazah pekerja migran ke Bantar Udara Internasional El Tari, Kupang.

Banyak dari mereka yang pergi meninggalkan kampungnya untuk memperbaiki hidup, sayangnya mereka kurang mendapat informasi dan sosialisasi. Kebanyakan mereka ingin instan, cepat mendapat uang, karenanya calo memanfaatkan kesempatan itu dengan memberikan janji manis bahwa bekerja di sana jauh lebih baik dan banyak menghasilkan uang. 

Ia mengatakan para calon pekerja migran itu, bahkan tidak peduli apakah jalur yang digunakan sudah prosedural ataupun non-prosedural, yang penting mereka bisa berangkat, percaya pada calo.

Modus operandi para calo tenaga kerja, menurut dia, kini berubah, tidak lagi banyak mendatangi kampung-kampung di NTT, tetapi memanfaatkan media sosial, lewat keluarga. Setelah berada di negara penempatan tidak mengetahui persoalan yang dihadapi, tapi ujung-ujungnya ada kasus.

Suster Laurentina mengatakan upaya yang dilakukan bersama dengan jaringan adalah sosialisasi di kantong-kantong migran di wilayah NTT tentang bahaya perdagangan orang, kemudian menjelaskan bagaimana bermigrasi yang aman. Mereka juga melakukan pendampingan korban yang ada di negara penempatan yang menghadapi persoalan hukum.

Upaya pencegahan yang juga suster lakukan adalah melakukan pemberdayaan masyarakat di desa untuk memberdayakan sumber daya alam potensial yang ada di tempat mereka, sehingga bisa membuat orang tidak tergiur untuk keluar negeri untuk bekerja.

"Itu semua dilakukan meski tidak mudah dan semuanya berproses," kata Suster Laurentina.

Menurut Suster Laurentina, banyak kasus seperti yang dialami Derfi ini mereka tangani. Biasanya mereka akan ditawari beasiswa atau kursus ketika sudah kembali ke Indonesia, sehingga menjadi bekal untuk bisa bekerja lagi.

“Tentu kita tidak bisa melarang orang mencari hidup yang lebih baik. Mereka punya hak. Silakan saja, tapi paling tidak kami imbau, ketika mereka mau bekerja datanglah ke tempat yang tepat,” ujar suster.

Suster Laurentina juga mengimbau agar calon pekerja migran mengikuti prosedur yang ada di negara penempatan maupun negara asal, yakni Indonesia. Siapkan dokumen dan keterampilan yang memang menjadi syarat untuk bisa bekerja di sana, termasuk mengikuti kontrak kerja dengan perusahaan atau majikan.

Setelah bekerja di negara penempatan, ia juga mengingatkan agar pekerja migran perlu tetap berkomunikasi dengan keluarga.

Bagaimanapun upaya memberikan informasi dan pemahaman yang tepat tentang bahaya TPPO harus lebih gencar dilakukan di Tanah Air. Karena, sekali pekerja migran mengalami persoalan di luar negeri, terlebih mereka yang bekerja secara ilegal, akan lebih sulit untuk membantunya.


Baca juga: Derfi Bisilisin kembali ke titik awal (bagian 3)
Baca juga: Perjalanan mengantar Derfi pulang ke Bakuin (bagian 2)
Baca juga: 12 tahun tak kembali ke tanah air, Derfi akhirnya pulang dari Malaysia (bagian 1)

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024