Cianjur (ANTARA) - Perkampungan di kaki gunung konon identik dengan sumber air yang mudah di dapat. Namun tidak dengan sejumlah desa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang terletak hanya beberapa kilometer dari Gunung Gede yang memiliki sumber air melimpah.

Sulitnya mendapatkan sumber air sudah dirasakan warga, yang sebagian besar hidup sebagai petani, sejak puluhan tahun lalu. Alhasil, warga hanya bisa mengandalkan dan memanfaatkan air hujan untuk menyirami tanaman dengan menampung di kolam kecil di tengah kebun.

Sulitnya mendapat sumber air diperparah setelah gempa 5.6 magnitudo yang mengguncang Cianjur pada 21 November 2022, di mana sumber air di atas permukaan dan bawah permukaan seperti hilang seiring munculnya patahan di sebagian besar Kecamatan Cugenang hingga Cianjur.

Akibatnya, untuk kebutuhan air bersih selama ini warga mengandalkan bak penampungan air hujan karena untuk membuat sumur bor mereka harus mengeluarkan biaya hingga puluhan juta rupiah karena sumber air bawah tanah baru bisa didapat dari kedalaman 30-40 meter bahkan lebih.

Tidak jarang ketika kemarau panjang, ratusan hektare areal pertanian di sejumlah desa tidak digarap pemiliknya karena sumber air yang sulit didapat. Bahkan mereka sudah berusaha mencari sumber mata air yang berjarak lebih dari 5 kilometer untuk dilakukan pipanisasi.

Upaya tersebut menjadi solusi bagi petani yang memiliki tabungan lebih ditambah sumbangan dari petani lain untuk membeli ratusan batang pipa atau selang plastik. Namun air yang di dapat tidak maksimal karena sumber air yang sama sudah lebih dulu digunakan petani yang ladangnya lebih dekat.

"Kalau dilihat saat gempa dan setelah gempa, makin banyak ladang dan kebun yang terbengkalai lalu dimanfaatkan warga untuk membangun tenda dan hunian darurat selama satu tahun lebih karena sebagian besar sumber air menghilang " kata tokoh petani Cugenang H. Kakah.

Kakah berkisah kian sulitnya mendapatkan air untuk pertanian, membuat dirinya dan sejumlah tokoh petani yang memiliki lahan puluhan hektare terpaksa berhenti menggarap hingga akhirnya solusi diberikan Pemerintah dengan membangun satu sumur bor dipakai warga tiga kampung di Desa Sukamulya, Cugenang.

Namun keberadaan sumur bor tidak terlalu membantu untuk mengairi ladang yang luasnya ratusan hektare karena habis untuk kebutuhan air bersih warga. Akhirnya mereka mencoba membuat pipanisasi dari sumber mata air di tengah perkebunan teh, guna memenuhi kebutuhan air lahan pertanian.

Pasca-gempa banyak bantuan yang datang untuk membuat pipanisasi ke rumah dan lahan pertanian. Meski belum merata, setengah dari lahan yang telantar sudah mulai digarap dengan tanaman yang tidak membutuhkan air banyak.

Berbagai bantuan berdatangan setelah gempa, mulai dari Pemerintah, swasta, dan organisasi kemanusiaan yang memberikan pelayanan di kecamatan terdampak gempa, salah satunya pipanisasi untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan air pertanian warga.

Pipanisasi menjadi solusi bagi warga yang tinggal di bawah kaki gunung di sejumlah kecamatan di Cianjur, guna mendapatkan pasokan air untuk kebutuhan rumah tangga hingga pertanian karena sumber mata air yang sulit di dapat sebelum gempa sekalipun.

Tercatat di sejumlah wilayah seperti desa di Kecamatan Cugenang, Pacet, dan sejumlah desa lain yang notabene letak geografisnya di bawah kaki gunung--yang biasa dengan mudah mendapatkan sumber air mulai dari mata air hingga sumur resapan serta sumur bor-- malah kesulitan mendapatkan sumber air.

Bahkan setelah gempa 5.6 magnitudo yang meluluhlantahkan sejumlah kecamatan di Cianjur, warga makin kesulitan mendapatkan sumber air, yang seperti menghilang mulai dari dari kolam, sumur resapan, sumur bor  bahkan sumber mata air yang biasanya melimpah.

Warga hanya bisa mengandalkan pasokan air dari mobil tangki milik Kementerian PUPR dan Palang Merah Indonesia (PMI) yang melakukan pelayanan kemanusiaan selama tanggap darurat bencana gempa hingga beberapa bulan setelahnya karena berlanjut dengan musim kemarau panjang pada tahun 2023.

Beberapa desa terutama di Kecamatan Cugenang seperti Benjod, Talaga, Cirumput, Sukajaya, Cijedil, Mangunkerta dan beberapa desa di Kecamatan Pacet seperti Desa Ciputri dan Ciherang, mendapat pasokan air rutin hingga 4 bulan setelah bencana alam usai di lanjut 3 bulan selama musim kemarau.

Hingga akhirnya sejumlah desa yang mengalami kesulitan air mendapat bantuan pipanisasi dan pembangunan sumur bor dari pemerintah, swasta, dan PMI dari kabupaten/kota di Indonesia, ketika sumber mata air jauh dari perkampungan atau sumber mata air yang tidak memungkinkan dipasang pipanisasi.

Bantuan sumur bor dan pipanisasi menjadi andalan warga di sejumlah desa untuk mendapatkan pasokan air bersih termasuk untuk pertanian. Tercatat sekitar 27 kilometer pipanisasi yang sudah dibangun di sejumlah desa di Kecamatan Cugenang dan Pacet yang kehilangan sumber air setelah gempa.

Kesulitan mendapatkan sumber air sudah terjadi sebelum gempa mengguncang Cianjur November 2022, meski perkampungan mereka terletak di bawah kaki Gunung Gede yang seharusnya kaya dengan sumber air.

Selama ini mereka mengandalkan air untuk pertanian dari air hujan yang ditampung di dalam kolam-kolam plastik yang dibuat di tengah kebun, sedangkan untuk kebutuhan air rumah tangga mereka mengandalkan pasokan air dari bak penampungan dari rumah warga yang mampu membuat sumur bor.

"Ketika gempa terjadi kami makin sulit karena warga tidak mampu membuat sumur bor yang biayanya sangat mahal. Ada warga yang mampu membuat pipanisasi dengan biaya sendiri dari sumber mata air yang jaraknya mencapai 5 kilometer," kata tokoh masyarakat Cugenang, Miftah.

Sumur bor dari warga yang memiliki rezeki lebih dimanfaatkan warga untuk membuat sambungan ke rumah-rumah dan bak penampungan yang dapat digunakan bersama namun menunggu pemilik memberikan izin setelah bak penampungan di rumahnya penuh.

Tidak sedikit warga yang akhirnya mengelola pendistribusian air mengeluarkan biaya patungan termasuk biaya operasional dan perawatan pipanisasi yang sudah dibangun pertama kali oleh warga yang lebih dulu memasang pipa dari sumber mata air atau sumur bor.

Bahkan beberapa desa menjadikan sumber mata air yang tersambung dari pipanisasi didistribusikan ke rumah warga dengan cara berbayar layaknya perusahaan air minum atau disebut perusahaan air desa, dengan tarif pemasangan awal berkisar antara Rp200 ribu sampai Rp500 ribu per sambungan.

Adapun setiap bulan, warga dikenakan biaya sekitar Rp15 ribu sampai Rp25 ribu sehingga pengelolaan air bersama dapat menjadi penghasilan bagi desa dan pengelola yang sebagian besar dijalankan oleh Karangtaruna dan aparat RT/RW di masing-masing wilayah.

Kesulitan masyarakat untuk mendapatkan air menjadi teratasi meski setiap bulan mereka harus mengeluarkan biaya untuk berlangganan layaknya masyarakat di perkotaan. Namun, solusi yang diberikan tidak memberatkan warga bahkan beberapa di antaranya tidak lagi dipusingkan dengan pasokan air.

Adapun upaya pemerintah daerah dalam memberikan solusi kesulitan air bersih dilakukan melalui Perumdam Tirta Mukti Cianjur. Usai gempa, ribuan keluarga yang tinggal di perlintasan pipa Perumdam yang kesulitan mendapatkan pasokan air bersih, mereka mendapat sambungan gratis.

Sampai tahun 2024, Perumdam telah memberikan sekitar 8.000 sambungan gratis untuk warga dari kalangan tidak mampu di 17 kecamatan yang ada di Cianjur termasuk Kecamatan Cugenang dan Pacet yang selama ini kesulitan mendapatkan pasokan air.

"Pemerintah Kabupaten Cianjur, melalui Perumdam Tirta Mukti Cianjur kembali memberikan 5.000 sambungan air bersih gratis bagi masyarakat dengan penghasilan rendah di 17 kecamatan, termasuk 500 keluarga stunting di wilayah kota Cianjur," kata Bupati Cianjur, Herman Suherman.

Untuk pemasangan sambungan air yang seharusnya senilai Rp1 juta lebih itu, diberikan secara cuma-cuma alias gratis sebagai upaya pemerintah daerah dalam meringankan beban warga dan guna memenuhi kebutuhan air bersih bagi warga di Cianjur.

Pemkab Cianjur berharap dengan sambungan air gratis yang diberikan, warga dapat menggunakan air sesuai kebutuhan dan tidak menggunakan air untuk mencuci kendaraan.

Seiring mengalirnya air ke rumah warga, dapat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan warga karena tidak perlu lagi keluar rumah guna mendapat pasokan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di sejumlah wilayah yang tidak terjangkau Perumdam, seperti di kecamatan terdampak gempa Pemkab Cianjur telah membangun sejumlah sumur bor beserta pipanisasi yang terhubung langsung ke rumah warga dan dikelola bersama.
 
Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) bersama warga Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, memasang pipanisasi sepanjang 6 kilometer melintasi pesawahan untuk memenuhi kebutuhan air warga yang hilang setelah gempa 5.6 magnitudo tahun 2022. ANTARA/Ahmad Fikri


Puluhan km pipa terpasang

Pascagempa Cianjur, kesulitan warga mendapatkan sumber air di sejumlah desa di Cianjur terutama di Kecamatan Cugenang, dapat teratasi setelah Pemerintah, swasta, dan organisasi kemanusiaan menyalurkan bantuan dalam bentuk pembangunan pipanisasi dan sumur bor.

Data dari Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Cianjur, sepanjang penanganan bencana alam gempa Cianjur tahun 2022, telah membangun sekitar 17 kilometer pipanisasi dan empat sumur bor sedangkan sekitar 10 kilometer dibangun organisasi lain dan pemerintah di beberapa desa di Kecamatan Cugenang dan Pacet, sebagai solusi bagi warga

Pipanisasi dan sumur bor yang dibangun merupakan donasi dari berbagai pihak seperti PMI Pusat, PMI kabupaten/kota di Indonesia, BUMN seperti Pertamina dan donasi dari pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang disalurkan melalui PMI Cianjur.

Pipanisasi sepanjang 17 kilometer yang terpasang di sejumlah desa seperti Desa Benjod, Talaga, Cirumput, Sukajaya, Cijedil, Mangunkerta dan beberapa desa di Kecamatan Pacet seperti Desa Ciputri dan Ciherang, hingga saat ini pemeliharaannya dilakukan warga sekitar.

Termasuk untuk empat sumur bor yang dibangun PMI di dua kecamatan di Cianjur seperti Kecamatan Cugenang, Cianjur dan Warungkondang, menjadi solusi bagi kesulitan warga guna mendapatkan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga yang sudah terjadi sebelum gempa.

Sumur bor yang dibangun di Desa Talaga, Kecamatan Cianjur, dapat menyuplai air bersih untuk 118 keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 330 orang. Saat ini pengelolaan air dilakukan warga setempat layaknya perusahaan air minum tingkat desa.

Warga penerima manfaat selalu menjaga bantuan sumur bor yang dibangun PMI Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan cara patungan setiap bulan,  hasil patungan warga digunakan untuk menambah saluran baru ke rumah warga yang membutuhkan sehingga kebutuhan air warga terpenuhi.

"Kami mencoba mencari donatur dari PMI kota/kabupaten di Indonesia yang siap membantu membangun pipanisasi atau sumur bor di sejumlah wilayah yang kesulitan mendapatkan sumber air, termasuk menarik perusahaan milik negara seperti Pertamina," kata Kepala Markas PMI Cianjur, Fajar Aciana.

Pengelolaan bersama sumber air dari pipanisasi yang terpasang di sejumlah desa itu, hingga saat ini berjalan dengan baik, bahkan dapat mendatangkan penghasilan bagi sejumlah warga yang memberikan jasa perbaikan saluran ke rumah warga.

Ketua Relawan Indonesia Pembela Alam (Rimba) Cianjur, Eko Wiwid, mencatat sejumlah faktor penyebab kekurangan air di beberapa desa di Kecamatan Cugenang yang sebagian besar terletak di bawah kaki Gunung Gede yang seharusnya memiliki sumber air yang cukup tinggi.

Faktor Kekurangan air bersih bagi masyarakat di wilayah Cianjur utara khususnya di Cugenang, seperti sumber mata air yang mengalir baik di atas permukaan tanah maupun aliran air di bawah permukaan tanah berubah setelah gempa bumi.

Kemungkinan adanya perubahan lahan resapan air/lahan hijau di bagian hulu sungai akibat alih fungsi lahan, tidak terkelola dengan baik atau tidak terkontrol-nya penggunaan air baik dari sumber air permukaan tanah maupun dari sumber air di bawah permukaan tanah

Sehingga untuk mencukupi kebutuhan warga yang kesulitan air bersih, pemerintah daerah harus segera mencarikan solusi yang tepat dan efisien seperti membuat penampungan air bersih di bagian hulu untuk didistribusikan atau dialirkan ke perkampungan warga yang kesulitan air bersih dengan pengelolaan dan regulasi yang terkontrol.

"Membuat embung air atau situ buatan untuk penampungan air , baik untuk kebutuhan pertanian maupun kebutuhan lainnya, menjaga dengan ketat kawasan hijau bagian hulu menjadi kawasan resapan air," kata Eko.
Kolam kecil di tengah kebun di Desa Sukajaya, Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, menjadi andalan petani untuk menampung air saat hujan sehingga dapat digunakan menyiram tanaman saat kemarau datang. ANTARA/Ahmad Fikri
Pemerintah daerah harus lebih menegakkan regulasi atau aturan rencana tata ruang wilayah ( RTRW) baik yang berkaitan dengan rencana nasional maupun daerah, jangan sampai kawasan hijau dan resapan air beralih fungsi.

Selain harus segera adanya penanggulangan kebutuhan air bersih untuk masyarakat sebelum menjadi masalah lebih besar lagi, Pemkab Cianjur segera melakukan mitigasi wilayah dan evaluasi tata ruang wilayah, karena ini menyangkut hidup orang banyak, ketahanan dan pertahanan wilayah.

Sepakat dengan hasil analisa organisasi lingkungan Rimba Cianjur, banyaknya alih fungsi lahan di bagian hulu tepatnya di bawah kaki Gunung Gede, harus menjadi perhatian bersama termasuk pemerintah karena hutan lindung dan hutan rakyat hilang berganti menjadi ladang atau kebun.

Sehingga pasokan air yang seharusnya tersimpan di kaki gunung atau melalui sungai yang mengalir hilang sebelum sampai ke hulu, sehingga perkampungan di bawah kaki gunung kesulitan mendapatkan sumber air, terlebih setelah gempa terjadi, sebagian besar desa di Kecamatan Cugenang kehilangan sumber air.

Pemerintah daerah harus lebih selektif menerbitkan izin, agar tidak ada lagi alih fungsi lahan di kawasan hijau berdiri bangunan atau ladang yang tidak dapat menampung air dibandingkan hutan lebat dengan berbagai macam pepohonan yang dapat menampung air.

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024