Genangan rawa lebak di sana juga tidak bisa terpisahkan dengan pengembangan ternak kerbau rawa di Ogan Ilir,
Ogan Ilir, Sumsel (ANTARA) - Bagi para pelintas di Tol Indralaya-Prabumulih (Indra-Prabu), atau terusan dari jalan Tol Palembang-Indralaya (Palindra), tepatnya di Km 23, mereka akan disuguhi pemandangan unik, yakni pusat perkantoran yang berada tengah-tengah genangan air atau rawa.

Di atas jalan tol itu, pelintas bisa menyaksikan betapa megah dan khasnya Kompleks Perkantoran Terpadu (KPT) Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir (OI). Tak hanya siang, pada malam hari pun orang akan menyaksikan benderang lampu listrik dari perkantoran itu.

Ya, itulah Tanjung Senai, kompleks kantor pemerintahan Kabupaten Ogan Ilir. Lokasinya memang di tengah-tengah pulau atau tanjung yang dikelilingi rawa lebak, yang pada saat musim hujan, kompleks itu seperti dikelilingi air yang sangat luas.

Kawasan itu juga menjadi salah satu daya tarik sekaligus ikon bagi Kabupaten Ogan Olir, salah satu yang diandalkan menjadi destinasi wisata di "Bumi Caram Seguguk" itu.

Untuk mencapai kompleks perkantoran itu, ada dua jalan penyeberangan yang lurus dari Jalan Lintas Timur Sumatera lintas Palembang -- Lampung. Selain itu, sejak adanya Tol Indra-Prabu yang baru setahun beroperasi, di kawasan Tanjung Senai disuguhi pemandangan tiang-tiang penyangga jalan tol yang membentuk "jembatan layang" yang cukup panjang.

Di samping kekhasan itu, Tanjung Senai juga memiliki keunikan tersendiri. Kompleks perkantoran Pemkab OI itu dikelilingi rawa lebak yang memendam potensi.

Kawasan rawa lebak legendaris di Ogan Ilir itu telah mengundang banyak peneliti untuk memetakan potensi tersebut. Memang tidak ada mata air di sana, namun pada musim hujan akan berperan menjadi embung yang menampung luapan Sungai Ogan sehingga membuat kawasan itu menjadi sangat khas Tanjung Senai. Kawasan itu dilengkapi dengan "Jembatan Kuning" konstruksi cable stayed yang khas dan menjadi daya tarik tersendiri.

"Kawasan Tanjung Senai dikelilingi rawa lebak, tidak ada mata air di sana, namun sangat berperan, dan menjadi tampungan air saat musim hujan," kata Lia, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ogan Olir.

Rawa lebak itu merupakan salah satu yang menjadi fokus untuk optimalisasi atas keberadaan dan fungsinya. Memang bukan satu-satunya rawa lebak di Ogan Ilir karena masih ada ratusan titik lokasi lainnya dengan luas yang bervariasi.

Rawa lebak tersebut menjadi salah satu bagian dari ikon daerah karena kawasan itu pun jadi tempat berkembangnya kerbau rawa, yang hingga saat ini masih ada dan menjadi lokasi penggembalaan, termasuk di Kawasan Perkantoran Terpadu Pemkab Ogan Ilir yang merupakan hamparan rumput hijau dan terpelihara dengan baik.

Rawa lebak Tanjung Senai juga mengundang minat dan perhatian peneliti dari kampus di Palembang. Bahkan beberapa di antaranya dirilis di jurnal ilmiah.

Salah satunya penelitian dari Putri Afriani, Juswardi, dan Hanifa Marisa dengan judul Komposisi, Keragaman, Struktur Vegetasi Rawa Lebak Tanjung Senai Ogan Olir, Sumatera Selatan yang dipublikasikan di Jurnal Biologi dan Pendidikan Biologi "Spizaetus".

Dituliskan dalam abstraknya, Tanjung Senai Ogan Ilir Sumatera Selatan merupakan kawasan rawa lebak musiman yang unik, mempunyai banyak potensi, seperti perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, dan ekowisata.

Potensi yang menarik untuk dikembangkan pada kawasan ini, salah satunya yaitu potensi ekowisata dengan aspek flora, fauna, dan lanskap.

Upaya untuk mempertahankan fungsi ekologis dan memanfaatkan potensi yang ada di rawa kawasan Tanjung Senai Ogan Ilir secara berkelanjutan maka aspek flora perlu dikaji lebih lanjut dengan penelitian karena keanekaragaman flora belum banyak dieksplorasi pada kawasan rawa dengan karakteristik tergenang secara musiman.

Genangan rawa lebak di sana juga tidak bisa terpisahkan dengan pengembangan ternak kerbau rawa di Ogan Ilir. Hingga saat ini kawasan Tanjung Senai dan kawasan rawa lainnya menjadi tempat penggembalaan ternak bertanduk panjang itu.

"Ya, sejak dulu ini daerah rawa, dan kompleks perkantoran Tanjung Senai ini dulunya adalah perkebunan tebu. Dulu kami mudah mendapat pakan untuk ternak, sekarang agak sulit karena lahanya berkurang," kata pemilik ternak kerbau, Kamaludin, warga Indralaya, Ogan Ilir.

Ia mengaku memiliki 30-an ekor kerbau rawa yang ia gembalakan beserta keluarganya. Pria berusia 65 tahun itu ditemui di lapangan rumput di pinggir kompleks perkantoran Tanjung Senai.

"Rawa-rawa di sini tidak bisa dipisahkan dari kehadiran peternak kerbau di Ogan Ilir. Saya sudah menekuni ini sejak tahun 1970-an, sejak anak-anak masih kecil," kata Kamaludin.

Populasi kerbau rawa di Tanjung Senai itu merupakan salah satu daya tarik untuk mendukung ekowisata kawasan itu ke depannya.

Namun di sisi lain, luas rawa lebak Tanjung Senai terus berkurang. Saat ini bagian sisi rawa sudah banyak yang ditimbun dan beralih fungsi menjadi perumahan dan juga rumah makan yang memanfaatkan lokasi dan view yang memang memesona.


Optimalisasi

Makin mendesaknya kebutuhan areal tanaman padi dalam ekstensifikasi produksi pangan, menjadikan rawa lebak sebagai salah satu yang dipilih. Meski tak sesempurna lahan persawahan pada umumnya, di lokasi itu dituntut dimodifikasi dan pengembangan varietas.

Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir telah menangkap potensi itu. Sejak tahun 2017, pemkab setempat sudah menyampaikan komitmen pendataan kawasan rawa lebak. Sayangnya, hingga saat ini belum ada yang optimal pemanfaatannya.

"Kita masih cari titik rawa lebak untuk itu, sampai saat ini masih terus diupayakan," kata Lia.

Potensi rawa lebak itu cukup luas. Namun tantangannya juga cukup besar. Salah satunya genangan air yang terjadi hingga 6--7 bulan cukup berpengaruh pada produktivitas  yakni hanya bisa satu kali panen dalam setahun.

Tantangan berikut yakni pengembangan program penataan air, terutama pada musim hujan. Hal itu telah dicoba oleh sebuah perusahaan yang mengelola rawa lebak di Kecamatan Pamulutan, Kabupaten Ogan Ilir.

Intervensi teknologi budi daya padi di lahan rawa lebak mutlak diperlukan karena membutuhkan perlakuan yang berbeda, selain manajemen tata kelola pengairan dan varietas yang digunakan, juga perlu disesuaikan.

Memang rawa lebak selama ini dinilai kurang menjadi perhatian untuk dijadikan lahan pertanian karena bila hujan, arealnya banjir.

Namun, dengan adanya program penataan air atau tata kelola air maka lahan tersebut makin produktif. Dengan adanya tata kelola air, lahan dapat ditanam tiga kali dalam setahun.

Desa Palabuhan Dalam di Kecamatan Pamulutan Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu desa yang lahan pertaniannya mayoritas merupakan lahan rawa lebak.

Lokasinya berada di dua sungai besar yang melintas di sana, yakni Sungai Ogan dan Sungai Keramasan. Dalam setahun, lahan itu terendam air sekitar 6--7 bulan.

Praktis petani lokal hanya bisa panen sekali pada rentang April hingga September, sisanya lahan dibiarkan tergenang tanpa bisa dimanfaatkan dengan tanaman lain.

Memanfaatkan lahan rawa memiliki tantangan tersendiri utamanya dalam mengatasi fluktuasi air yang terjadi pada musim hujan dan kemarau. Untuk itu, perlu membangun sistem pengelolaan air yang sesuai kondisi lahan, salah satunya melalui pembuatan saluran air dan tanggul long storage.

Dr Edward Saleh, peneliti dari Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, menulis di "Jurnal Pengabdian Sriwijaya" dengan mengangkat adaptasi pola genangan air rawa lebak dengan budi daya tanaman mengambang di Desa Pelabuhan Dalam, Kabupaten Ogan Ilir.

Ia menyodorkan solusi untuk lahan itu dengan menawarkan sistem budidaya tanaman padi mengambang atau mengapung. Penanaman padi mengambang ini dapat dilakukan selama fase pertumbuhan atau hanya pada fase awal pertumbuhan, yang diharapkan bisa beradaptasi dengan kondisi lahan rawa banjir.

Berbagai pola adaptasi untuk menyiasati karakter rawa lebak seperti yang ada di Kabupaten Ogan Ilir ini perlu terus dilakukan dan dicoba. Kerja sama multipihak diperlukan dan bergerak searah untuk memanfaatkan potensi lahan yang tidak sedikit di Sumatera Selatan itu.


Peta rawa Sumsel

Berdasarkan data Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian (PSP Kementan), lahan sawah rawa di Sumatera Selatan seluas 340.486 hektare.

Pada 2024, kegiatan optimasi lahan rawa di Sumsel seluas 98.400 hektare dengan rincian di Kabupaten Banyuasin 22.000 hektare, Kabupaten Ogan Komering Ilir 65.000 hektare, Kabupaten OKU Timur 5.000 hektare, Kabupaten Ogan Ilir 4.000 hektare, dan Kabupaten Muara Enim 2.400 hektare.

Dukungan kegiatan optimasi lahan rawa dilakukan melalui penyusunan dokumen survei investigasi desain (SID), pembangunan atau rehabilitasi infrastruktur air dan lahan, serta pengolahan tanah hingga tanam.

Sementara itu data Pemprov Provinsi Sumatera Selatan menyebut provinsi ini memiliki lahan rawa seluas 3,36 juta hektare.

Kegiatan yang dilakukan selama ini di lahan rawa adalah pengembangan infrastruktur air dan lahan, mekanisasi pertanian pratanam dan pascapanen, serta penyediaan sarana produksi.

Pemprov Sumsel perlu mendorong Kabupaten Ogan Olir dan Kabupaten Banyuasin dalam optimalisasi sawah rawa. Program optimalisasi lahan rawa dari Kementerian Pertanian selama ini mampu membantu petani meningkatkan produktivitas panen.

Terlebih Sumatera Selatan saat ini menjadi salah satu daerah penyangga pangan nasional. Selama ini Sumsel juga memasok produksi beras provinsi tetangga, seperti Jambi dan Bangka Belitung.

Terlepas dari tantangan yang dihadapi untuk pemanfaatan rawa lebak, ke depan perlu terus didorong intervensi teknologi dalam tata kelola air agar dapat diandalkan untuk optimalisasi lahan rawa lebak sebagai gudang pangan baru untuk masa depan.



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024