Biaya relatif rendah, sustainable, meningkatkan estetika lingkungan, dan mengurangi risiko pencemaran lebih lanjut
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil mengembangkan solusi yang inovatif dalam upaya menangani pencemaran radioaktif Sesium-137 atau Cs-137 dengan menggunakan metode fitoremediasi.
 
Peneliti Pusat Riset Teknologi Bahan Nuklir dan Limbah Radioaktif BRIN Gustri Nurliati mengatakan metode itu memanfaatkan media tanaman dan tidak memerlukan bahan kimia berbahaya.
 
"Biaya relatif rendah, sustainable, meningkatkan estetika lingkungan, dan mengurangi risiko pencemaran lebih lanjut," ujarnya dalam pernyataan yang dikutip di Jakarta, Senin.
 
Cs-137 adalah unsur radioaktif yang dihasilkan dari reaksi fisi nuklir. Unsur itu mudah larut dalam air, sehingga jika mengontaminasi lingkungan akan larut dan dapat masuk ke rantai makanan maupun tubuh makhluk hidup.

Baca juga: BRIN siapkan fasilitas disposal limbah radioaktif
 
Metode fitoremediasi merupakan teknologi pengurangan, pembersihan, atau penghilangan polutan berbahaya, seperti logam berat, pestisida, senyawa beracun, dan lain-lain dalam media lingkungan, tanah, atau air, dengan menggunakan tanaman.
 
Ilmuwan BRIN telah melakukan fitoremediasi untuk mengatasi kontaminasi Cs-137. Riset fitoremediasi dilakukan dengan kontaminan sesium non-radioaktif menggunakan tanaman sorgum, akar wangi, bayam duri, dan sengon.
 
Sedangkan fitoremediasi dengan kontaminan sesium radioaktif dilakukan menggunakan tanaman jagung, bayam, kangkung, cabai, tomat, pare, sawi hijau, terong, dan daun singkong.
 
"Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan, tanaman yang tertinggi untuk transfer faktor Cs-137 adalah bayam. Sedangkan yang tertinggi transfer faktor Cobalt adalah tanaman pare,” kata Gustri.

Baca juga: BRIN dan ITK jajaki kerja sama pemanfaatan limbah radioaktif
 
Metode fitoremediasi memiliki empat prinsip dasar yakni ekstraksi, volatisasi, degradasi, dan containment atau imobilisasi.
 
Ekstraksi adalah proses penyerapan zat kontaminan dari media oleh tumbuhan. Kontaminan akan terakumulasi di sekitar akar tumbuhan, kemudian ditranslokasikan ke seluruh tubuh tumbuhan yaitu akar, tajuk batang, dan daun.
 
Volatisasi adalah proses di mana kontaminan ditransformasi oleh tanaman menjadi bentuk yang kurang toksik dan mudah menguap, lalu dilepaskan ke atmosfer melalui penyerapan, jaringan tanaman, metabolisme tanaman, dan proses transpirasi.
 
Mekanisme selanjutnya adalah degradasi atau destruksi yang melibatkan penguraian kontaminan organik secara langsung melalui pelepasan enzim dari akar atau melalui aktivitas metabolisme dalam jaringan tanaman. Kontaminan organik umumnya diubah menjadi karbondioksida dan air.

Baca juga: BRIN mampu kelola limbah radioaktif dengan baik
 
Mekanisme terakhir adalah imobilisasi untuk zat kontaminan yang sulit didegradasi. Kontaminan itu hanya diserap oleh akar dan tetap menempel pada akar tumbuhan.
 
Zat-zat kontaminan akan menempel erat pada akar, sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media tercemar.
 
Gustri menjelaskan untuk menentukan jenis tanaman yang digunakan perlu identifikasi mekanisme fitoremediasi dan tujuan remediasi. Selain itu, informasi detail mengenai lokasi berupa kontaminan, konsentrasi, bentuk, tekstur tanah, salinitas, tingkat keasaman, kesuburan, dan kadar air.
 
Identifikasi kriteria juga penting untuk seleksi tanaman, misalnya toleransi panas, toleransi serangga, ketahanan terhadap kekeringan, dan laju pertumbuhan atau produksi biomassa.
 
“Cocokkan kriteria-kriteria tersebut dengan daftar tanaman yang diusulkan. Kemudian, setelah memilih tanaman dan melaksanakan fitoremediasi diperlukan juga proses pemantauan dan evaluasi pertumbuhan tanaman dan pemilihan tanaman,” kata Gustri.

Baca juga: BRIN sasar inovasi sistem pemantauan radioaktif hingga teknologi PLTN

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024