Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan mata pusaran angin yang menyebabkan hujan lebat di Kepulauan Nusa Tenggara kini perlahan mulai melemah dan meninggalkan wilayah tersebut mendekati Australia.
 
"Selain uap air yang tidak begitu besar, angin yang mendukung juga tidak terlalu kencang," kata Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
 
Eddy mengatakan pusaran angin yang sekarang berada dekat Waingapu, Nusa Tenggara Timur, tidak akan memberikan ancaman berarti karena daerah itu diapit oleh pulau-pulau yang menjadi benteng pelindung dari amukan badai.

Baca juga: BRIN ungkap penyebab hujan sering muncul di wilayah barat RI
 
Tekanan atmosfer berada pada angka 1.005 hectopascal dan terus melemah hingga akhirnya menjadi 983 hectopascal pada 6 April 2024.
 
"Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) aman. Walaupun hujan deras, tidak menimbulkan kondisi ekstrem," kata Eddy.
 
Masyarakat diimbau untuk selalu menjaga kewaspadaan terutama jika muncul indikasi angin kuat dan semakin membesar.
 
Eddy mengatakan mulai malam ini mata pusaran sudah tidak lagi mendekati kawasan Nusa Tenggara.

Baca juga: BRIN ungkap pemicu hujan lebat sering muncul di utara Jawa Tengah
 
"Besok malam malah semakin menjauh. Mata pusaran sudah meninggalkan NTB dan NTT justru berada di perbatasan (Indonesia-Australia)," ucapnya.

Lebih lanjut Eddy menjelaskan bahwa pusaran angin yang berada dekat Waingapu, Nusa Tenggara Timur, terbentuk karena pertemuan massa uap air dari arah timur yang ingin menuju barat Indonesia dengan massa uap air yang datang dari Asia dan sebagian dari Lautan Pasifik.

"Massa uap air itu bertemu karena di sana menjadi pusat tekanan rendah sekitar 1.005 hectopascal, sehingga membentuk pusaran," ujarnya.

Eddy menganalisa fenomena pusaran angin di Nusa Tenggara tidak berdampak terhadap peningkatan curah hujan di kawasan barat Indonesia, khususnya Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Bandung.

Baca juga: BRIN paparkan keajaiban geologi zaman es terakhir di Sundaland

"Itu karena mekanismenya beda. Di Bandung dan Jakarta tidak sama dengan situasi yang terjadi di Waingapu, tidak terlihat pusat tekanan rendah seperti yang terjadi di NTT," tuturnya.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024