Bondowoso (ANTARA) - Perilaku korupsi, di manapun di dunia, agaknya tidak bisa hanya dilihat dari perspektif linier, sebagai sebab akibat dari keadaan yang tampak, baik kolektif maupun perorangan.

Penanganannya pun tidak cukup hanya dengan menggunakan perangkat hukum positif, tapi mengabaikan akar mendalam dari mengapa mental dan perilaku itu selalu muncul, yang fenomenanya seperti "mati satu tumbuh seribu".

Di negara kita, seluruh penegak hukum, khususnya lembaga terbaru yang tugas utamanya menangani masalah korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah tidak pernah lelah untuk menciduk para pelaku korupsi. Bukannya banyak orang dan penyelenggara negara yang takut melakukan pencurian uang milik rakyat itu, tetapi justru terlihat seperti menjamur.

Bukan hendak meremehkan upaya bersama untuk menangani penyakit jiwa individu dan sosial ini lewat penegakan hukum positif, hanya saja, penganan masalah korupsi secara linier ini kurang berjalan efektif. Upaya itu, termasuk di dalamnya yang dilakukan sebagai ikhtiar preventif. Kampanye antikorupsi juga begitu gencar dilakukan, bahkan sudah masuk ke lembaga-lembaga pendidikan untuk konsumsi generasi muda.

Penanaman nilai-nilai luhur dari agama tampaknya juga tidak membawa dampak signifikan dalam upaya mulia dan untuk kepentingan besar, dalam konteks berbangsa dan bernegara ini.

Karena itu, perspektif ilmu kesadaran dari seorang psikolog bernama David Ramon Hawkins, PhD yang menyelami seluk beluk jiwa dan upaya membersihkannya, sangat layak diketengahkan untuk mendukung upaya memajukan bangsa ini menuju kemakmuran bersama, dengan pengelolaan negara yang bersih dari segala perilaku menyimpang.

Dalam perspektif ilmu kesadaran yang diperkenalkan oleh Hawkins, perilaku apapun, yang dalam konteks sosial dikenal sebagai baik dan buruk, bisa ditelisik dari kacamata keadaan jiwa pelakunya.

Meskipun Hawkins tidak membingkai konsep tentang ilmu kesadaran ini dalam konteks agama, namun hakikatnya sangat beririsan dengan nilai-nilai spiritual yang ada dalam semua agama.

Bahkan, kerangka pengukuran level kesadaran itu sangat membantu seseorang yang ingin memperjalankan jiwanya menuju keadaan keilahian atau kondisi jiwa yang fitrah.

Mengapa kemudian seseorang menjadi sosok dengan perilaku baik dan buruk dalam kacamata sosial? Lewat pemetaan level kesadaran inilah, Hawkins menguliti apa di balik yang tampak di permukaan itu, sebetulnya digerakkan oleh sesuatu yang tidak tampak, yaitu jiwa.

Secara mudah jiwa yang menjadi sumber perilaku itu dapat dikatakan sebagai kualitas, namun Hawkins, dalam bukunya "Power versus Force" yang merupakan penelitian dan ringkasan dari disertasi doktornya, tidak mau terjebak dalam penilaian sebagai baik dan buruk. Hawkins lebih memilih memetakan keadaan jiwa itu secara apa adanya dan menyampaikan segala konsekuensi perilaku (keadaan nyata di kehidupan) seorang dari keadaan jiwa itu.

Meskipun demikian, Hawkins tidak juga bermotif atau ingin menoleransi setiap perilaku yang tidak diharapkan secara sosial, budaya, dan politik di masyarakat.

Hawkins, secara garis besar membagi kondisi jiwa orang dalam dua level, yakni "Force", dengan pengukuran kalibrasi dari level kesadaran (LoC) 20 hingga 195, dan "Power" dari LoC 200 hingga 1.000 atau bahkan tak terhingga.

Level kesadaran atau LoC itu menggambarkan keadaan jiwa seseorang dan tampak pada perliakunya. Dalam skala pengukuran Hawkins, perilaku korupsi dan sejenisnya, dapat dikategori sebagai fakta yang digerakkan oleh jiwa dengan LoC di ranah force atau di bawah 200.

Melihat angka-angka kalibrasi level kesadaran itu, yang paling rendah adalah 20 atau malu (shame), kemudian 30 sebagai rasa bersalah (guilt), 50 apatis (apathy), 75 dukacita (grieft), 100 ketakutan (fear), 125 hasrat (desire), 150 amarah (anger), dan 175 kebanggaan (pride). Angka-angka itu juga disebut sebagai nature atau keadaan alamiah jiwa.

Mari kita telisik fenomena korupsi dalam bingkai level Force ini. Secara umum, tindakan korupsi terjadi karena pelakunya terjebak dalam keadaan jiwa di nature 20 (malu), 100 (ketakutan), 125 (hasrat), mungkin juga di 150 (amarah), dan 175 (kebanggaan).

Malu bisa menggerakkan seseorang untuk melakukan korupsi karena pelaku ingin menutupi rasa malunya yang selama ini merasa kurang dihargai secara finansial di lingkungan sosial. Nature ini bertalian erat dengan 150 atau rasa marah dengan keadaan masa lalunya yang mungkin merasa kurang dihargai. Kondisi ini juga berkelindan dengan 175 atau kebanggaan.

Seseorang yang terjerat dalam keadaan jiwa malu, muncul hasrat (125) untuk menunjukkan dirinya layak dihargai, terutama secara ekonomi. Pertalian berikutnya adalah nature 100 atau ketakutan. Seorang pelaku korupsi bisa jadi ketakutan jika dalam jabatan atau posisi di pekerjaan dan profesinya saat ini tidak bisa memanfaatkan peluang untuk menjadi orang terpandang secara ekonomi.

Dalam ilmu kesadaran ini, seseorang yang jiwanya terjebak di nature-nature Force sulit untuk keluar dari jeratan untuk tidak melakukan sesuatu yang secara nilai sosial disebut menyimpang alias kriminal.

Agar bisa keluar dari jeratan itu, maka level kesadaran jiwanya harus diprogresifkan dengan metode transendensi agar terus naik, setidaknya ke level 200 (keberanian). Pada level 200 ini adalah titik kritis, dimana seseorang mulai memiliki keberanian untuk mengoreksi keterjebakan jiwanya dan berani untuk mengakui keadaan itu, serta mulai muncul kesadaran untuk berubah.

Pada level yang lebih tinggi dari LoC 200, seseorang diajak untuk masuk ke dalam keadaan jiwa yang penuh welas asih atau cinta tak bersyarat (LoC 500).

Pada level ini, seseorang mulai mencicipi nilai-nilai keilahian, karena memandang semuanya, orang lain, keadaan, dan lainnya, dalam perspektif penuh cinta. Di level ini, seseorang mulai menanggalkan kategori-kategori sosial yang tidak disukainya, seperti musuh, jengkel, marah, dan lainnya. Kemudian di level 600, seseorang mulai masuk ke keadaan jiwa yang saling terkoneksi antara satu dengan yang lainnya.

Selanjutnya, di level 700, interkoneksi itu semakin dalam, yakni mulai menyadari adanya potensi keilahian pada semua orang. Sementara di LoC 800, seseorang mulai diliputi oleh nature keilahian, sehingga semua motif atau yang dikerjakannya dengan niat karena Tuhan.

Kembali ke perilaku korupsi. Satu negara akan aman dari jeratan perilaku ini jika LoC para penyelenggaranya, minimal berada di LoC 500, yang memandang semuanya dengan kualitas jiwa yang penuh cinta kasih. Mereka tidak dalam tindakannya merugikan orang lain.


Pengasuhan dan budaya

Level kesadaran seorang individu maupun rerata secara komunal sangat dipengaruhi oleh pola pengasuhan dalam keluarga dan budaya yang berlaku secara kuat di masyarakat. Karena itu, lewat kalibrasi kesadaran versi Hawkins ini juga dapat dipetakan berapa LoC rata-rata masyarakat di suatu daerah atau satu negara.

Nature malu, ketakutan, amarah, hasrat, dan kebanggaan tertanam dalam diri seseorang lewat pola pengasuhan orang dan nilai-nilai yang berkembang secara sosial di masyarakat.

Di luar upaya transendensi untuk menaikkan level kesadaran seseorang itu adalah bagaimana kita memperbaiki pola asuh di keluarga untuk mempersiapkan generasi masa depan agar level kesadarannya tidak berada di Force, termasuk pelan-pelan memperbaiki budaya komunal di masyarakat menuju level power.

Dalam pembelajaran ilmu kesadaran versi Hawkins yang di Indonesia diampu oleh Aswar, akrab disapa Bang Aswar, telah menunjukkan hasil dalam upaya seseorang menyelesaikan masalah di lingkup keluarga.

Kalau sebelumnya, seorang suami merasa sebagai "raja" yang segalanya harus dilayani oleh istri dan anak-anaknya, kini mulai tumbuh kesadaran cinta kasih yang tidak lagi mengenal gender. Istri juga berhak untuk dilayani suami, misalnya menyiapkan makan untuk keluarga, atau seorang suami dengan riang gembira mencuci piring, yang selama ini hanya dibebankan kepada istri.

Demikian juga dengan hubungan sosial di suatu komunitas yang sebelumnya sering berlangsung dalam rel saling menyalahkan dan saling menilai, kini berubah menjadi saling membersamai dan saling menerima apa adanya.

Belajar ilmu kesadaran ini hakikatnya adalah memerdekakan jiwa dari budak ego menjadi jiwa damai dalam tuntunan keilahian, yang unsur kelilahian itu bersemayam dalam diri setiap manusia.
 

Copyright © ANTARA 2024