Jakarta (ANTARA News) -  Hujan semakin sering turun akhir-akhir ini. Itulah tanda musim tanam telah tiba. Hari-hari yang berkah bagi petani untuk mulai proses produksi, karena air melimpah di bumi.

Namun, kali ini musim tanam mulai pada  November, mundur dari biasanya di bulan Oktober, karena curah hujan baru sering di bulan ini.

Pada awal musim hujan itulah biasanya permintaan pupuk meningkat, karena petani mulai menyemainya untuk menyuburkan lahan mereka.

Beruntung, harga pupuk untuk petani masih disubsidi pemerintah, sehingga meskipun permintaan melonjak, harga tetap sama. Pun, ketika harga internasional bergolak, harga pupuk bersubsidi di dalam negeri tetap stabil.

Harga pupuk urea dipatok dengan harga Rp1.800/kg, pupuk majemuk NPK Rp2.300/kg, SP-36 sebesar Rp2.000/kg, ZA Rp1.400/kg, dan organik Rp500/kg. Harga itu berlaku sejak tahun 2012.

Bila harga pupuk tidak disubsidi, harga urea pada tahun lalu bisa menembus angka Rp4.300-an/kg, karena harga internasional saat itu mencapai  431 dolar AS/ton. Tahun ini pun, meski harga pupuk internasional cenderung turun hanya sekitar 300-an dolar AS/ton, harga pupuk urea bersubsidi tetap sama Rp1.800/kg, dari harga pasar sekitar Rp3.000-an/kg bila mengikuti internasional.

Bisa dibayangkan mahalnya harga pupuk yang harus dibeli petani, bila pemerintah tidak melakukan subsidi. Padahal untuk satu hektare lahan padi membutuhkan setidaknya 200 kg pupuk urea, 300 kg NPK, dan 500 kg pupuk organik.

Naik

Saat ini ada kecenderungan, khususnya di negara-negara berkembang, jumlah nilai subsidi terus tumbuh bagi petani mereka.
China misalnya memberi subsidi untuk sektor pertaniannya hingga seribu miliar yuan. Subsidi tersebut tidak hanya untuk harga khusus gas untuk memproduksi pupuk dan transportasi kereta api untuk mengangkut komoditas andalan penyubur tanah itu, tapi juga diskon 30 persen untuk 175 jenis mesin pertanian.


Sementara di India, total subsidi pupuk di negeri itu mencapai 12,1 miliar dolar AS atau setara INR 659,74 miliar dan bila dikurs dalam rupiah mencapai 121 triliun pada 2012-2013, hanya  untuk menjaga harga tertinggi pupuk di tingkat petani.


"Pada 2013-2014 permintaan subsidi pupuk bahkan naik mencapai sekitar 17,8 miliar dolar AS (INR 1.050 miliar)," kata  Dirjen Fertilizer Association of India (FAI), Satish Chander pada diskusi panel Internasional Fertilizer Association (IFA), di Nusa Dua, Bali, yang berlangsung 6-8 November 2013.

Tidak hanya China dan India, yang merupakan negara dengan penduduk miliaran orang, negara berkembang lain seperti Malaysia, Philipina, Pakistan, Srilanka, Bangladesh, dan Nepal, juga masih mempertahankan subsidi pupuk.


"Subsidi pupuk di negara-negara berkembang itu bahkan cenderung meningkat, dengan pola dan ketentuan yang berbeda," kata  Wakil Presiden IFA untuk kawasan Asia Selatan, Rakesh Kapur .

Diakui Dirjen IFA Charlotte Hebebrand, subsidi pupuk untuk pertanian di sejumlah negara tidak bisa dihindari, guna membantu akses petani terhadap pupuk, di samping untuk membantu peningkatan pendapatan mereka.


"Banyak negara yang petaninya hanya memiliki lahan yang kecil dan miskin, sehingga perlu dibantu akses finansial untuk mendapatkan pupuk," katanya.


Namun, ia mengingatkan subsidi bisa menimbulkan ketergantungan petani terhadap pupuk yang murah dan biasanya sulit dilepaskan. Oleh karena itu, menurut dia, secara secara bertahap subsidi harus dilepas.

Indonesia


Dibandingkan China dan India, jumlah subsidi pupuk di Indonesia terbilang kecil, hanya sekitar dua miliar dolar AS atau sekitar Rp21 triliun.


Bahkan pada APBN tahun ini,  menurut data PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) Koeshartono, nilai subsidi pupuk hanya sekitar lima persen dari total subsidi yang dikeluarkan pemerintah. Paling besar subsidi dikeluarkan pemerintah untuk energi (61 persen) dan listik (26 persen).


"Namun dengan  subsidi yang hanya lima persen itu, kita bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan. Hal itu karena dengan pemupukan yang tepat produksi tanaman pangan meningkat," kata Dirut PIHC Arifin Tasrif.


Pada 2012 berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia (FAO) produktivitas lahan padi di Indonesia rata-rata mencapai 5,1 ton/hektare di Indonesia, di atas rata-rata produktivitas lahan di India sebesar 3,6 ton/hektare.  Meskipun memang lebih rendah dari China yang mencapai 6,7 ton/hektare.


Selama ini subsidi pupuk yang diberikan pemerintah Indonesia sejak tahun 1970-an itu telah mampu mendongkrak produksi pangan nasional, meskipun pertumbuhan produksinya lebih rendah dibandingkan dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga masih ada sejumlah kecil produk pangan yang masih impor termasuk beras/padi, jagung, maupun kedelai.

Kegairahan petani untuk menanam produk pangan itu harus tetap dipertahankan, melalui akses sarana dan prasarana pertanian yang mudah, termasuk dalam pengadaan pupuk, benih, dan alat pertanian, maupun irigasi.

Hal itu menjadi sangat penting bagi Indonesia khususnya, karena pejabat FAO wilayah Asia Pasifik, Sumiter Broca, pada diskusi IFA di Bali itu,  mengingatkan bahwa sampai tahun 2050 ada  kecenderungan pertumbuhan hasil produksi pertanian dunia melambat.


Dengan demikian Indonesia harus semakin memperkuat ketahanan pangannya. Broca menyarankan agar pembangunan infrastruktur dan riset di bidang pertanian digalakkan, di samping memperbaiki nutrisi tanah melalui ketersediaan pupuk dengan komposisi yang tepat, agar hasil panen tetap meningkat.

Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman Heriawan yang hadir pada makan malam dengan para peserta konferensi IFA menyatakan ketersediaan pupuk menjadi komponen penting guna menjamin ketahanan pangan nasional. Ia memperkirakan sampai 2014 tidak akan ada perubahan kebijakan pemerintah terkait subsidi pupuk.

"Dalam suasana politik tahun depan (ada pemilihan umum), skim subsidi yang sekarang masih dipertahankan. Saya tidak tahu sampai kapan," ujarnya.


Menurut dia, akan tidak nyaman bagi partai politik manapun yang menjadi peserta pemilu, bila ada perubahan kebijakan subsidi pupuk. Meskipun diakuinya banyak wacana tentang perubahan skema pemberian subsidi, seperti dialihkannya alokasi dana subsidi pupuk ke pembangunan  infrastruktur. 


Namun dalam jangka pendek, kata Rusman, kebijakan subsidi masih dipertahankan.


Tahun 2014 pemerintah menganggarkan subsidi pupuk senilai Rp21 triliun.


Dari jumlah tersebut yang murni untuk subsidi pupuk tahun 2014 senilai Rp18 miliar, sama dengan tahun 2013, sisanya sekitar Rp3 miliar merupakan pembayaran cicilan utang pemerintah atas subsidi pupuk yang belum dibayar ke PIHC senilai Rp12 miliar.

Dengan angka subsidi sama dengan tahun 2013, Rusman memperkirakan volume pupuk bersubsidi akan turun, karena ada kenaikan harga bahan baku dan depresiasi rupiah yang menyebabkan harga pokok produksi (HPP) pupuk naik. Diperkirakan dengan nilai subsidi sebesar Rp18 miliar tahun 2014, maka total volume pupuk bersubsidi (urea, NPK, ZA, SP-36, dan organic) hanya sekitar 7,7 juta ton, turun dibandingkan tahun ini sekitar 9,25 juta ton.

"Tahun 2014 adalah tahun politik. Akan tidak nyaman bagi partai mana pun bila volume pupuk bersubsidi kurang," ujarnya. Oleh karena itu, pihaknya tetap menilai lebih baik ada penambahan anggaran subsidi pupuk melalui APBN-P, meskipun itu berarti jumlah utang pemerintah ke BUMN pupuk bertambah.





Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013