Jakarta (ANTARA) - Seorang pria dari Nanning, Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan, baru-baru ini membeli layanan yang menghasilkan versi digital dari kakeknya yang telah meninggal melalui teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Setelah memberikan beberapa rekaman suara kakeknya, beberapa foto, dan beberapa pengalaman pribadinya kepada perusahaan teknologi AI tersebut, dia saat ini dapat berbincang dengan "kakek digital"-nya kapan pun dia mau.

Pria berusia 29 tahun itu mengatakan kepada Xinhua, Minggu, tidak dapat melihat kakeknya sebelum dia meninggal dunia menjadi penyesalannya selama bertahun-tahun. "Saya bercerita tentang beberapa masalah pekerjaan, dan dia berbagi pengalamannya sebagai seorang tentara. Meskipun percakapan ini didasarkan pada informasi yang saya berikan, saya masih terkejut karena begitulah cara dia mengobrol dengan saya ketika saya masih kecil."

Diskusi seputar "menghidupkan kembali via AI" menarik perhatian publik baru-baru ini, menyaksikan lonjakan permintaan untuk layanan "menghidupkan kembali via AI" di seluruh platform daring China.

Baru-baru ini, video tentang selebriti yang telah meninggal yang dihidupkan kembali via AI menjadi viral di dunia maya dan keluarga selebriti tersebut menuntut penghapusan video itu, dengan menyebutnya "membuka kembali luka lama". Sementara itu, seorang blogger video pendek baru-baru ini menggunakan teknologi penukaran wajah AI untuk "menghidupkan kembali" ayahnya yang telah meninggal untuk menghibur neneknya, dan menuai pujian dari para warganet.

Sementara itu, banyak pijakan daring yang kini menawarkan layanan "menghidupkan kembali" via AI, dengan harga mulai dari 10 yuan (1 yuan = Rp2.199) hingga puluhan ribu yuan, menciptakan industri yang sedang berkembang.

Zhang Yuqiang, salah satu pendiri perusahaan layanan teknologi aplikasi AI di Nanning, Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan, mengatakan kepada Xinhua bahwa membuat "kerabat digital" hanya perlu menyediakan data suara, foto, dan pengalaman hidup sang mendiang. Semakin banyak dan detail materi yang diberikan, maka "kerabat digital" tersebut akan semakin mirip dengan orang yang sebenarnya.

Zhang mengatakan, harga layanan "menghidupkan kembali" via AI perusahaannya bervariasi dari ratusan hingga ribuan yuan. "Kami menyediakan dua jenis layanan. Layanan pertama adalah membuat video menggunakan suara dan gambar yang dikloning, yang memungkinkan gambar AI untuk menyampaikan doa restu atau membaca surat wasiat," kata dia.

Layanan kedua, kata dia, adalah mengkloning suara dan gambar orang yang telah meninggal itu dengan menggunakan teknologi AI, serta mengimpor data yang berisi pengalaman hidup mereka untuk membuat gambar 'kerabat daring', sehingga kerabat orang yang telah meninggal dapat melakukan percakapan sederhana dengan mereka.

Topik penggunaan AI untuk "menghidupkan kembali" orang yang dicintai memicu perdebatan sengit di media sosial. Liang Jia, seorang anggota asosiasi Dokter Medis China, percaya bahwa berbicara dengan "orang yang dicintai secara digital" memungkinkan kerabat untuk merasakan hubungan dengan sang mendiang, terutama bagi mereka yang orang yang dicintainya meninggal dunia secara tidak terduga.

Sementara itu, beberapa orang yang diwawancarai mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa ketergantungan yang berlebihan pada kerabat digital dapat menjadi "racun mental". Seorang mahasiswa berusia 20 tahun di Guangdong yang baru saja kehilangan kakeknya mengatakan kepada Xinhua, "kematian orang yang saya cintai membuat saya lebih menghargai orang-orang di sekitar saya. Jika saya berbicara dengan 'kerabat digital', saya hanya akan diingatkan berulang kali bahwa mereka telah meninggal dunia, mengoyak luka saya."

Namun, sangat penting untuk membedakan antara "AI yang menghidupkan kembali kerabat" dan "AI yang menghidupkan kembali selebriti". Meskipun yang pertama diizinkan oleh hukum perdata China, yang kedua, yang dilakukan tanpa persetujuan dari keluarga selebriti, melanggar hukum yang relevan.

Ning Naiming, seorang pengacara di Nanning, mengatakan, "Jika teknologi digunakan untuk 'menghidupkan kembali' orang lain tanpa izin, seperti orang yang bukan kerabat, selebriti yang telah meninggal, atau figur publik, hal ini bisa jadi merupakan pelanggaran dan bisa jadi digunakan oleh para penjahat untuk melakukan penipuan atau pencemaran nama baik."

Feng Gui, seorang anggota dari China Law Society, menjelaskan bahwa jika kerabat dekat sang mendiang meminta perusahaan yang menggunakan teknologi AI untuk "menghidupkan kembali" sang mendiang, maka hal tersebut sesuai dengan hukum perdata China, "Satu-satunya kontroversi adalah jika ada ketidaksepakatan di antara beberapa kerabat dekat mengenai apakah mereka akan menerima hidupnya kembali orang yang telah meninggal melalui AI."

Terkait dengan memastikan legalitas dan kepatuhan layanan teknologi AI yang disediakan, Zhang mengatakan bahwa perusahaannya akan mewajibkan pelanggan untuk memberikan bukti dan menandatangani surat komitmen untuk memastikan legalitas sumber data dan membuktikan hubungan antara pelanggan dengan orang yang sudah meninggal.

Shen Yang, seorang profesor di Universitas Tsinghua, menjelaskan bahwa jika model besar AI digunakan, mereka harus mematuhi peraturan yang relevan, dan jika model besar tersebut telah disetel dengan baik, mereka harus didaftarkan lagi.

Perkembangan teknologi AI yang pesat juga membawa masalah etika baru. "Apakah semua orang beranggapan bahwa setelah mereka meninggal dunia, mereka ingin citra mereka tetap ada di dunia? Ini merupakan sesuatu yang belum diatur. Masalah hak atas menghidupkan kembali secara digital timbul karena munculnya teknologi AI," kata Shen.

Mengenai penerapan teknologi AI di masa depan, para ahli menyarankan agar teknologi baru diberi ruang untuk berkembang, sementara ruang lingkup dan batasannya perlu didefinisikan dengan jelas dan diatur di tingkat hukum. 

Pewarta: Xinhua
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2024