Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan patogen tular tanah menimbulkan masalah serius terhadap produksi dan pengembangan tanaman jagung di negara-negara tropis, seperti Indonesia.
 
"Permasalahan utama produksi negara tropis adalah hama dan penyakit karena lingkungan sangat menguntungkan untuk perkembangan hama dan penyakit," kata Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Yudhistira Nugraha dalam diskusi yang dipantau di Jakarta, Rabu.
 
Patogen tular tanah adalah penyakit tanaman yang disebabkan oleh mikroba yang bertahan hidup dan berkembang di dalam tanah. Mikroba itu umumnya berupa kapang (Fusarium oxysporum), bakteri (Ralstonia solanacearum), dan protista (P brassicae).
 
Ia mengatakan bila produsen benih jagung ingin mengintroduksi jagung di negara lain maka benih jagung yang diproduksi itu harus adaptif dulu di Indonesia.
 
Hal itu mengingat tantangan serangan hama dan penyakit di Indonesia cukup tinggi dibandingkan negara lain.
 
Menurutnya, peningkatan ketahanan pangan dari sisi genetik dan pengelolaan patogen serta pengendalian hama menjadi upaya untuk mendongkrak produksi jagung.
 
"Produksi benih sangat ditentukan dari kesehatan tanaman. Kalau tanaman sehat tentunya akan menghasilkan benih yang bermutu dan berkualitas," kata Yudhistira.

Baca juga: Balittra kenalkan budidaya jagung provitas tinggi di musim hujan
 
Pada 2024, Kementerian Pertanian mencanangkan program upaya khusus padi dan jagung. Pemerintah menghentikan impor jagung karena jumlah produksi yang meningkat dan menargetkan tahun ini swasembada jagung nasional.

Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN Suriani mengatakan penyakit busuk batang yang disebabkan oleh bakteri Dickeya zeae merupakan salah satu patogen tular tanah yang penyebarannya masih terbatas dan memengaruhi produksi jagung di Indonesia.
 
Patogen itu menginfeksi akar jagung melalui luka alami atau infeksi mikroba tanah. Tanaman menjadi layu secara keseluruhan, warna batang berubah seperti terendam air dan mengeluarkan bau busuk.
 
Selain itu, bakteri dari tanaman terinfeksi tersebut pindah ke tanaman sehat melalui aliran irigasi, percikan air hujan, dan terbawa hewan pengerek batang berbintik Chilo partellus.
 
Ia mengatakan strategi pengendalian dapat dilakukan secara preventif yang dilakukan sebelum adanya serang penyakit terlihat dan strategi kuratif yang dilakukan segera setelah adanya serangan penyakit tersebut.
 
Menurutnya, pengendalian secara genetik dapat dilakukan menggunakan varietas tahan organisme pengganggu tanaman.
 
Ada pula pengendalian secara kultur teknik dengan mengurangi kesesuaian ekosistem, mengganggu kontinuitas penyediaan keperluan hidup organisme pengganggu tanaman, mengalihkan populasi organisme pengganggu tanaman, dan mengurangi dampak kerusakan tanaman.
 
Selain itu, pengendalian secara hayati dan pengendalian secara kimiawi juga bisa dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan akibat patogen tular tanah.

Baca juga: Mentan serukan swasembada Padi dan Jagung dari NTB
Baca juga: Rekayasa genetik untuk masa depan pangan

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024