Jakarta (ANTARA) - Belum selesai konflik Korea Selatan-Korea Utara, China-Taiwan, Rusia-Ukraina, dan Israel-Palestina, kini meletus konflik antara Israel dan Iran sehingga semakin memperuncing ketegangan geopolitik dan memperparah ketidakpastian global.

Serangan terhadap Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, pada 1 April lalu yang menewaskan tujuh anggota Korps Garda Revolusi Islam Iran (Islamic Revolutionary Guard Corps/IRGC), termasuk dua jenderal mereka, merupakan pemicu konflik di antara keduanya.

Tidak tinggal diam, Iran pun membalas serangan tersebut dengan meluncurkan ratusan rudal dan pesawat tanpa awak (drone) ke wilayah Israel pada Sabtu malam (13/4) hingga Minggu dini hari (14/4).

Menurut pemerintah Iran, hal tersebut merupakan suatu upaya pertahanan diri sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB, mengingat konsulatnya di Damaskus termasuk wilayah ekstrateritorial mereka.

Meskipun Kepala Staf Militer Iran Mayor Jenderal Mohammad Baqeri mengatakan pada Minggu (14/4) bahwa pihaknya tidak berniat untuk melancarkan operasi lanjutan terhadap Israel, namun banyak pihak khawatir serangan yang telah terjadi dapat memicu konflik besar di kawasan Timur Tengah.

Hal ini tentunya perlu dicermati oleh pemerintah di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, karena diperlukan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah konflik tersebut berdampak signifikan terhadap perekonomian domestik, terutama pada sektor perbankan.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo mengatakan bahwa konflik Iran-Israel tersebut dapat berimbas terhadap berbagai aspek dalam sektor perbankan.

Misalnya, portfolio aset korporasi perbankan yang terkait dengan bisnis maupun perdagangan internasional, baik ekspor maupun impor, akan terdampak oleh disrupsi rantai pasokan dan distribusi akibat konflik yang terjadi di wilayah dekat Terusan Suez tersebut.

Kemudian, aset dan liabilitas valuta asing (valas) akan terpengaruh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang disebabkan oleh meningkatnya indikator volatilitas pasar keuangan global karena meletusnya konflik Iran-Israel itu.

Selain itu, ketidakpastian perekonomian global juga akan membuat nasabah perorangan beralih ke investasi jangka panjang yang lebih aman, walaupun dengan imbal hasil lebih rendah, misalnya dari produk tabungan ke produk deposito dan pasar uang.

Konflik Iran-Israel tersebut juga diperkirakan akan menjadi salah satu alasan bagi bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve System atau The Fed, untuk menahan suku bunga acuan mereka di level yang tinggi atau higher for longer.

Padahal, banyak ekonom dan pelaku sektor keuangan dunia telah memprediksi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga mereka dalam waktu dekat ini, atau selambatnya pada awal semester kedua 2024 nanti.

Bank Indonesia (BI) termasuk salah satu yang juga memproyeksikan hal tersebut. Bank sentral Indonesia itu pun telah berencana untuk mengikuti langkah yang diperkirakan akan dilakukan The Fed itu.

Akan tetapi, melihat situasi geopolitik global saat ini, sepertinya BI juga akan mempertimbangkan kembali rencananya tersebut.

Hal ini disebabkan BI perlu memastikan level IHSG, yield obligasi dalam negeri, dan kurs rupiah berada dalam kondisi yang aman sebelum mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunga acuannya agar stabilitas moneter dalam negeri terjaga.

Tidak hanya BI, pemerintah pun berupaya untuk menjaga stabilitas kondisi keuangan nasional melalui reformasi sektor keuangan dengan mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso mengatakan bahwa reformasi sektor keuangan yang dijalankan berbarengan dengan cipta kerja, harmonisasi perpajakan, serta penyederhanaan birokrasi dapat menjadi penopang realisasi visi Indonesia Emas 2045.

“Menuju demographic dividend (bonus demografi) 2045, kita perlu mempercepat reformasi sektor keuangan ini,” ujarnya. Kedalaman sektor keuangan Indonesia masih perlu ditingkatkan karena relatif dangkal dibandingkan negara ASEAN-5 lainnya, yaitu Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Sebagai contoh, nilai aset perbankan yang selama hampir 15 tahun terakhir mendominasi proporsi aset keuangan domestik ternyata masih jauh lebih kecil dibandingkan nilai aset perbankan di negara ASEAN-5 lainnya tersebut.

CEIC Data, sebuah perusahaan analis data keuangan yang berpusat di London, Inggris, mencatat bahwa nilai aset perbankan Indonesia hanya sebesar 55,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2023.

Sementara itu, proporsi aset perbankan Malaysia mencapai 188,8 persen, Filipina 97,4 persen, Singapura 507 persen, dan Thailand 141 persen dari PDB mereka masing-masing.

Padahal, Adi menyatakan bahwa nilai aset perbankan Indonesia berpotensi berkembang hingga 200 persen dari PDB-nya.


Upaya mitigasi

Tidak peduli seberapa besar peluang pengembangan nilai aset perbankan Indonesia tersebut, tanpa adanya langkah untuk meredam dampak dari gejolak geopolitik saat ini, maka perkembangannya tidak akan optimal, apalagi mengingat kurs rupiah yang semakin melemah.

Pada hari pertama pembukaan perdagangan rupiah setelah libur Lebaran pada Selasa pagi (16/4), yang juga merupakan hari pertama perdagangan rupiah pascaserangan Iran ke Israel, kurs mata uang Indonesia tersebut langsung merosot menjadi Rp16.088 per dolar AS.

Begitu pula dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melemah 156,25 poin atau 2,14 persen ke posisi 7.130,62 pada Selasa pagi. Kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 juga turun 35,04 poin atau 3,64 persen ke posisi 928,68.

Bahkan pelemahan tersebut masih berlanjut hingga penutupan pada Rabu sore (17/4). Kurs rupiah ditutup melemah 44 poin atau 0,28 persen menjadi Rp16.220 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.176 per dolar AS.

Sedangkan IHSG ditutup melemah 33,97 poin atau 0,47 persen ke posisi 7.130,83 dan indeks LQ45 turun 6,98 poin atau 0,75 persen ke posisi 928,35.

Untuk menghadapi situasi tersebut, maka sudah seharusnya pelaku perbankan menyiapkan strategi mitigasi untuk mencegah dampak yang lebih signifikan.

Menurut Direktur Bisnis Kecil dan Menengah Bank Rakyat Indonesia (BRI) Amam Sukriyanto, kondisi perekonomian Indonesia diprediksi tumbuh secara moderat sepanjang tahun ini. Sementara itu, risiko makroekonomi berada di level tinggi selama semester pertama dan akan menurun ke level moderat pada semester kedua.

Pihaknya pun menyiapkan beberapa bauran strategi untuk mengantisipasi keadaan tersebut. Pada semester pertama ini, mereka memilih untuk melakukan ekspansi kredit secara moderat, mengingat potensi pertumbuhan masih cukup baik.

Namun, pengimplementasian pedoman portofolio kredit (Loan Portfolio Guideline/LPG) dan pengawasan terhadap pinjaman bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perlu diperketat karena adanya risiko makroekonomi yang tinggi.

BRI juga menetapkan high coverage ratio terhadap peluang kegagalan dari masing-masing portfolio yang dikelolanya karena risiko makroekonomi yang tinggi juga akan membuat suku bunga berada di posisi yang tinggi.

Selain itu, perseroan juga melakukan simulasi stress test secara berkala untuk memastikan berbagai proyeksi bisnis yang telah dibuat tidak terlalu melenceng dari kenyataan dan mencari pendanaan dengan tenor jangka panjang.

Sementara itu saat semester kedua nanti,  pihaknya akan melonggarkan LPG untuk memperluas ekspansi kredit karena risiko makroekonomi sudah mulai menurun serta akan tetap memonitor NPL secara seksama, tapi difokuskan pada beberapa sektor yang masih relatif tinggi risikonya. Simulasi stress test dan penetapan high coverage ratio juga akan tetap dilakukan.

Sedangkan terkait pendanaan, BRI akan mulai beralih untuk mencari sumber dana murah (Current Account Saving Account/CASA), khususnya tabungan dan giro.

“Matriks (kebijakan) ini kemungkinan akan berbeda antara bank yang satu dengan bank yang lain karena kondisi yang berbeda di setiap bank, yang penting kita tetap harus optimis, tapi juga tetap harus cautious (waspada),” kata Amam.

Berbagai konflik geopolitik yang terjadi telah terbukti berimbas terhadap kondisi makroekonomi domestik, meski Indonesia tidak termasuk pihak yang bertikai dan konflik-konflik tersebut pun terjadi ribuan kilometer jauhnya dari negeri kita ini.

Mengingat dampak dari berbagai konflik tersebut yang justru terasa sangat dekat, maka sudah semestinya seluruh pihak, baik pemerintah maupun pelaku usaha, berupaya untuk menjaga daya tahan perekonomian nasional, terutama sektor perbankan sebagai salah satu penopang yang fundamental.

 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024