Nairobi (ANTARA) - Impian tentang masa depan yang hijau, tangguh, dan inklusif bagi Afrika akan terwujud ketika pemerintah memanfaatkan kecerdasan wanita dan anak perempuan akar rumput untuk mendorong aksi melawan krisis iklim yang semakin intens, demikian disampaikan oleh para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (16/4) dalam sebuah forum di Nairobi, ibu kota Kenya.

Mehjabeen Alarakhia, penasihat regional Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) untuk pemberdayaan ekonomi perempuan di Afrika Timur dan Selatan, menekankan peran penting perempuan dalam meningkatkan kemampuan benua tersebut menghadapi guncangan iklim.

Perubahan iklim telah membawa dampak yang tidak proporsional terhadap wanita dan anak perempuan pedesaan di Afrika, dan mereka dapat dimanfaatkan untuk menerapkan langkah-langkah tangguh, termasuk konservasi sumber daya alam, kata Alarakhia.

"Perubahan iklim mengancam penghidupan wanita dan anak perempuan Afrika, meningkatkan risiko kesehatan serta ketidakmampuan mereka untuk mengakses air bersih," lanjutnya. "Namun, kontribusi dari perempuan harus menjadi inti dari respons terhadap perubahan iklim."
 
Para perempuan menyortir kacang tanah kering tanpa kulit sebelum disimpan di Lokichar, Kabupaten Turkana, Kenya, 7 Desember 2022. (Xinhua/Bedah Mengo)
   

Diselenggarakan oleh UN Women, Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP), dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), forum yang digelar selama tiga hari pada 16 hingga 18 April ini akan membahas peran penting kebijakan iklim dengan inklusivitas gender dalam memajukan agenda hijau Afrika.  

William Otieno, pemimpin regional UNFCCC untuk Afrika Timur dan Selatan, mengatakan bahwa pemberdayaan wanita dan anak perempuan Afrika akan menjadi kunci untuk mencapai hasil yang diinginkan benua-benua itu dalam negosiasi iklim global.

Menurut Otieno, inklusivitas gender harus disertakan dalam proses nasional dan regional yang diarahkan pada transisi yang adil dan berkelanjutan di sebuah benua yang sedang dilanda oleh sejumlah bencana iklim.

Delegasi dari 30 lebih negara Afrika, yang terdiri dari kalangan pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas adat, menghadiri konferensi tersebut untuk memetakan jalur masa depan baru yang ramah lingkungan dan memiliki inklusivitas gender di Afrika.

Alarakhia menekankan perlunya sektor-sektor tahan iklim yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat akar rumput Afrika, termasuk pertanian, air, kesehatan, kehutanan, dan energi.

 
Wanita yang membawa air menuju kamp Baidoa di Somalia, pada 21 Januari 2023. (Xinhua/Abdi) 

 
Menurut Otieno, inklusivitas gender harus disertakan dalam proses nasional dan regional yang diarahkan pada transisi yang adil dan berkelanjutan di sebuah benua yang sedang dilanda oleh sejumlah bencana iklim

Evelyn Koech, ketua tim lingkungan dan ketahanan di UNDP Kenya, mengatakan negara-negara Afrika memerlukan kebijakan dengan inklusivitas gender untuk meredam dampak buruk perubahan iklim, termasuk banjir, kekeringan, pengusiran paksa, dan konflik berbasis sumber daya, yang menelan lebih banyak korban dari kaum wanita.

Agar benua ini dapat melakukan transisi menuju masa depan yang lebih tangguh dan ramah lingkungan, pemerintah harus mengintegrasikan kesetaraan gender dalam pendanaan iklim dan sejumlah upaya untuk mencapai target net-zero, tambah Koech.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024