Siapapun bisa menjadi intel jika memiliki bakat
Jakarta (ANTARA) - Pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati menilai bahwa dunia intelijen membuka ruang yang luas bagi perempuan, sehingga menjadikan intel perempuan lebih menarik dibandingkan intel laki-laki meskipun jumlah intel laki-laki lebih banyak.

"Intelijen dianggap ranah maskulin. Namun di sisi lain sebenarnya ada Mata Hari, seorang intelijen perempuan," kata Susaningtyas Kertopati dalam webinar bertajuk "Perempuan dan Studi Intelijen", di Jakarta, Kamis.

"Mengapa Mata Hari begitu mempesona sebagai sosok intelijen perempuan? Di situ ada romantisme, kepandaiannya membuat semua orang terpesona kepada Mata Hari, sampai ada yang beberapa kali ingin membuat film tentang Mata Hari, tetapi gagal," tambahnya.

Menurut Susaningtyas Kertopati, keilmuan soal intelijen telah ada sejak zaman Romawi, Perang Dunia I, dan Perang Dunia II.

Tetapi di Indonesia, keilmuan mengenai intelijen baru tercatat sekira tahun 1990-an.   

Intelijen sendiri merupakan ilmu yang dibutuhkan dalam menentukan arah dalam rumusan manajemen sebagai landasan penyusunan program rencana dan rencana aksi.

"Produk intelijen itu adalah anatomi dan perkiraan yang dalam terkait manajemen strategis," kata Susaningtyas Kertopati.

Ia mengatakan sebenarnya siapapun bisa menjadi intel jika memiliki bakat.

"Makanya penting sekali dalam rekrutmen itu penentuan bakat," katanya.

Menurut dia, akan sulit bagi seseorang untuk menjadi intel meskipun telah bersekolah intel yang tinggi, jika tidak memiliki bakat.

"Kalau rekrutmen intel, gampang. Kasih saja (calon) intel, bunga mawar. Kalau dia menyebut mawar warnanya merah, tangkai, dan daunnya hijau. Jangan diterima walaupun IQ-nya tinggi. Jika dia meskipun (IQ) biasa-biasa, menyebutkan (di dalam mawar) ada serbuk, mengapa serbuknya berwarna kuning, mengapa ada mawar yang warnanya hijau, merah. Di situlah kita lihat dia rasa keingintahuan-nya tinggi," katanya.

Keingintahuan tinggi merupakan modal bagi intel dalam melaksanakan tugas.

Pasalnya, jika seorang intel tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, dia akan menjadi intel yang pemalas.

"Orang yang tidak punya kepo yang tinggi, yakin jika dia menjadi intel, malas-malasan. Padahal intel dalam analisanya kadang tidak pernah berhenti. Karena setiap analisa yang dibuat, akan ada analisa lanjutan, tergantung temuan saat itu," katanya.

Baca juga: Pakar: Orkestrasi informasi intelijen oleh Kemhan harus sesuai UU

Baca juga: Pengamat: Indonesia perlu perkuat intelijen waspadai tahun politik

Baca juga: Puan Maharani dukung intelijen Indonesia berkelas dunia

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024