Jika seorang intel tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, dia akan menjadi intel yang pemalas
Jakarta (ANTARA) - Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI Editha Praditya Duarte mengatakan diperlukan penataan sumber daya manusia di bidang intelijen di Indonesia.

Dalam webinar bertajuk "Perempuan dan Studi Intelijen", di Jakarta, Kamis, Editha Praditya Duarte mencontohkan pada perekrutan agen di FBI (Biro Investigasi Federal) di Amerika Serikat bukan berasal dari lulusan Akademi Militer (Akmil), Akademi Kepolisian (Akpol), dan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).

Baca juga: Pengamat: Dunia intelijen buka ruang yang luas bagi perempuan

"Mereka harus punya karier yang panjang terlebih dulu di bidang penegakan hukum atau di bidang intelijen. Ketika mereka sudah sangat berpengalaman dan memiliki keahlian, baru menjelang usia 30, mereka direkrut menjadi agen FBI," katanya.

Sementara di Indonesia, para intel di Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki porsi yang berbeda di setiap pemerintahan.

"BIN 80 persen, bahkan 90 persen itu sipil di era Pak SBY. Kemudian konstruksinya berubah menjadi banyak porsi diberikan untuk TNI Polri pada jaman Pak Jokowi," kata Editha Praditya Duarte.

Sementara pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati menambahkan sebenarnya siapapun bisa menjadi intel jika memiliki bakat.

"Makanya penting sekali dalam rekrutmen itu penentuan bakat," katanya.

Menurut Susaningtyas Kertopati, akan sulit bagi seseorang untuk menjadi intel meskipun telah bersekolah intel yang tinggi, jika tidak memiliki bakat.

Baca juga: Hamas-intelijen Mesir bahas upaya gencatan senjata di Gaza

"Kalau rekrutmen intel, gampang. Kasih saja (calon) intel, bunga mawar. Kalau dia menyebut mawar warnanya merah, tangkai, dan daunnya hijau. Jangan diterima walaupun IQ-nya tinggi. Jika dia meskipun (IQ) biasa-biasa, menyebutkan (di dalam mawar) ada serbuk, mengapa serbuknya berwarna kuning, mengapa ada mawar yang warnanya hijau, merah. Di situlah kita lihat dia rasa keingintahuan-nya tinggi," katanya.

Keingintahuan tinggi merupakan modal bagi intel dalam melaksanakan tugas.

Pasalnya, jika seorang intel tidak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, dia akan menjadi intel yang pemalas.

"Orang yang tidak punya kepo yang tinggi, yakin jika dia menjadi intel, malas-malasan. Padahal intel dalam analisanya kadang tidak pernah berhenti. Karena setiap analisa yang dibuat, akan ada analisa lanjutan, tergantung temuan saat itu," kata Susaningtyas Kertopati.

Baca juga: Sekjen NATO khawatirkan aktivitas spionase Rusia

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2024