Jakarta (ANTARA) - Film dokumenter dinilai dapat menjadi medium mencegah Pekerja Migran Indonesia (PMI) terjebak terhadap radikalisme, salah satunya seperti film dokumenter pendek berjudul "Pilihan", produksi Ruang Migran yang mengisahkan PMI terjebak radikalisme.

Produser Eksekutif film Pilihan, Noor Huda Ismail menjelaskan film dokumenternya memang sengaja dibuat dan ditujukan kepada PMI.

Pembuatan film disebut sengaja berfokus untuk menceritakan bagaimana pengaruh media sosial terhadap PMI, sehingga terdapat tiga sosok PMI yang dikisahkan, mulai dari yang terpapar radikalisme, berkuliah dan menyiapkan terwujudnya mimpi di Indonesia, serta seorang PMI yang menjadi sutradara film dokumenter.

Permasalahan pekerja migran dan radikalisme juga dinilai penting untuk dibahas, sehingga proses penceritaan diusahakan dikemas dengan baik yang menghasilkan film dokumenter pendek berdurasi 21 menit itu.

Oleh sebab itu, film tersebut akan diputar oleh kementerian/lembaga terkait, seperti Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk disaksikan oleh PMI sebelum diberikan pelatihan yang dibutuhkan.

Sementara itu, Sutradara dan Editor film, Ridho Dwi Ristiyanto, mengatakan bahwa dirinya sengaja membagi film menjadi tiga babak atau tiga cerita untuk mempermudah PMI saat menyaksikan dampak media sosial, seperti terpapar radikalisme atau menyiapkan bekal saat kembali ke Indonesia.

Mengingat urgensi dan pesan yang ingin disampaikan, maka proses produksi dibuat dalam kurun waktu satu tahun.


Pencegahan

Pengamat intelijen dan keamanan nasional sekaligus Direktur Eksekutif Intelligence and National Security Studies (INSS) Stepi Anriani berpendapat film dokumenter, seperti Pilihan, bisa mencegah PMI terjebak radikalisme.

Film dokumenter dapat menjadi salah satu medium pencegahan radikalisasme sebelum PMI diberangkatkan ke negara tujuan, sehingga PMI mendapatkan wawasan dan terhindar dari hal yang tidak diinginkan.

PMI disebut dapat menjadi target empuk oleh kelompok teror untuk terjerat radikalisme. Proses adaptasi dengan lingkungan baru di luar negeri menjadi salah satu alasan mengapa PMI dapat menjadi target oleh kelompok teror.

Kelompok teror dinilai menargetkan PMI karena biasanya mereka memiliki latar belakang permasalahan ekonomi maupun krisis kepercayaan diri. Selain itu, PMI menjadi sasaran karena mempunyai penghasilan bulanan.

Oleh sebab itu, literasi digital perlu digiatkan oleh pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait. Pemerintah juga diingatkan untuk tidak terlena dengan kondisi zero terrorist attack (tidak ada serangan teroris secara terbuka), sehingga pencegahan harus terus diperkuat, termasuk melalui film dokumenter.

Pemerintah juga perlu menyiapkan nomor-nomor khusus yang bisa dihubungi oleh PMI sebagai tempat bertanya maupun mengadu saat berada di luar negeri.

Selain itu, pemerintah dinilai perlu menyiapkan agen-agen positif, seperti pemuka agama yang moderat. Bahkan, masyarakat sipil, akademisi, dan media, juga dapat diajak oleh pemerintah untuk mengawal PMI agar terhindar radikalisme.

Senada dengan Stepi, Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah BP2MI I Ketut Suardana mengatakan bahwa film dokumenter pendek Pilihan memberikan arti penting dalam menjawab fungsi literasi digital di kalangan PMI.

Film dokumenter disebut menyajikan permasalahan yang komprehensif terkait permasalahan PMI dan radikalisme. Film dokumenter juga disebut berperan penting untuk mengedukasi para calon pekerja migran yang akan bekerja di berbagai negara supaya tidak terjebak menjadi korban.

Sementara itu, Deputi Bidang Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto menjelaskan bahwa selama ini propaganda dan narasi para ekstremis tersebar melalui media digital.

Media digital dianggap berperan penting pada proses terekrutnya para PMI ke dalam dunia kekerasan ekstrem.

Berdasarkan catatan BNPT pada 2015 sampai 2023, ada sekitar 94 warga negara Indonesia yang kebetulan adalah PMI yang dipulangkan karena mereka terlibat atau terafiliasi dengan kekerasan ekstrem.

Propaganda dari kelompok keras, baik itu kelompok yang sifatnya radikalisme, terorisme internasional, maupun di dalam negeri disebut sangat berpengaruh

Adapun pada 2017 terdapat catatan dari Institute for Peace and Conflict (IPAC) yang menyebutkan sekitar 50 perempuan PMI dinyatakan sudah terpapar paham radikal.
Seorang penonton menyaksikan film dokumenter pendek berjudul "Pilihan" produksi Ruang Migran yang mengisahkan pekerja migran Indonesia (PMI) yang terjebak radikalisme, di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (18/4/2024). (ANTARA/Rio Feisal)

Saran edukasi

Film dokumenter pendek Pilihan telah diputar dalam beberapa kesempatan dengan tujuan untuk literasi kepada PMI.

Sebelum diputar di salah satu kafe di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, pada Kamis, 18 April 2024, dan di pusat kebudayaan AtAmerica, Mal Pacific Place, Jakarta, pada Jumat, 19 April 2024, film dokumenter tersebut sempat ditayangkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura yang dihadiri ratusan PMI di Aula Nusantara, pada Minggu, 25 Februari 2024.

Staf Teknis Ketenagakerjaan KBRI Singapura Tantri Darmastuti menyampaikan film dokumenter ini menjadi penting karena banyak kasus yang menimpa PMI akibat ketidaktahuan penggunaan media sosial secara bijak.

Oleh sebab itu, sejalan dengan tugas dan kewajiban KBRI Singapura dalam melayani dan melindungi warga negara Indonesia di Singapura, pemutaran film Pilihan dilaksanakan sebagai sarana edukasi untuk PMI.

Film dokumenter pendek tersebut menyajikan tiga babak yang mengisahkan tiga orang PMI dengan pengalaman berbeda terhadap media sosial dan radikalisme.

Pada babak pertama, dengan bertajuk “Jebakan Media Sosial”, film mengisahkan mantan PMI Hong Kong asal Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, bernama Listyowati.

Lis, sapaan akrabnya, mulanya menggunakan media sosial, seperti Facebook, dan platform berbagi video YouTube. Melalui Facebook dan YouTube, Lis menyaksikan penderitaan anak-anak akibat konflik, dan ingin menyelamatkan mereka.

Ia kemudian bergabung dalam sebuah grup Facebook dan mencari informasi untuk dapat pergi ke daerah konflik. Ia lantas mencari informasi untuk dapat membeli senjata agar tidak mati konyol di sana.

Dalam babak pertama ini, film mengandalkan wawancara dengan Lis sebagai narasi utama yang dipadukan dengan medium shot. Bagaimana latar belakang Lis yang prihatin, perkenalannya dengan konflik dan media sosial, hingga komunikasi intens dengan pelaku teror bernama Arif yang kemudian ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.

Pada babak kedua yang bertajuk “Cerdas Bermedia Sosial”, menceritakan PMI di Singapura bernama Masyitoh yang bertekad mengubah nasib dengan melanjutkan pendidikan.

Selain itu, dia dikisahkan mencoba berjualan melalui media sosial dan menyiapkan rencana hidup di Indonesia bila pensiun sebagai PMI. Dalam babak ini, film banyak mengikuti keseharian Masyitoh dengan follow shot maupun tracking shot.

Sementara itu, babak ketiga bertajuk “Kesempatan Kedua”. Babak ini mengisahkan Ani Ema, mantan PMI yang kini menjadi aktivis dan sutradara film dokumenter.

Ani dikisahkan mempertemukan langsung Lis dengan Masyitoh agar terwujud kesempatan kedua setelah terpapar dengan radikalisme dan keluar dari penjara. Pertemuan tersebut dapat terjadi melalui ruangmigran.id atau RUMI, sebuah komunitas daring yang didedikasikan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh pekerja migran.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024